Korupsi Bansos Covid-19, ICW Sebut Berpotensi Rugikan Negara Rp2,7 Triliun
JAKARTA — Koalisi masyarakat sipil antikorupsi membuka pos pengaduan masyarakat terkait penerima manfaat bantuan sosial sembako Covid-19 di wilayah Jabodetabek. Hal ini sebagai upaya mengatasi permasalahan dalam pembagian sembako penanganan Covid-19 sepanjang 2020 lalu.
Adapun koalisi masyarakat sipil itu antara lain terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Change.org, dan Visi Integritas Law Office.
“Pos pengaduan ini adalah upaya untuk dapat memetakan permasalahan dan kerugian yang dialami masyarakat sebagai dampak korupsi,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Minggu (21/3).
Pos pengaduan ini menindaklanjuti kasus dugaan suap pengadaan bansos yang menjerat mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara. Modus yang dilakukan oleh para pelaku adalah dengan meminta fee sebesar Rp 10 ribu dari total harga paket sembako Rp 300 ribu untuk setiap warga Jabodetabek.
“Dapat dibayangkan, atas praktik kejahatan itu, tidak hanya terbatas pada suap-menyuap semata, akan tetapi juga berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,73 triliun,” cetus Kurnia.
Menurut Kurnia, dugaan korupsi bansos di tengah wabah pandemi Covid-19 tidak hanya sekadar merugikan keuangan negara. Penyalahgunaan kewenangan demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, sangat mengancam kehidupankelompok rentan dan masyarakat miskin yang menjadi sasaran program tersebut.
Setidaknya ada 1,3 juta keluarga penerima manfaat yang berpotensi dirugikan secara langsung akibat korupsi tersebut. Dia menilai, dampak signifikan itu pada dasarnya telah disadari penuh oleh para pelaku.
Hal itu dapat dibuktikan tatkala dikeluarkannya Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 54/HUK/2020. Aturan itu menegaskan adanya urgensi pemberian bansos untuk menjamin stabilitas ekonomi masyarakat yang terancam resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Kurnia tak memungkiri, problematika korupsi bansos ini sekaligus menjadi pengingat bahwa praktik korupsi adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Penting ditekankan, di tengah situasi pandemi, negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebutuhan dasar warga yang dibatasi aktivitasnya sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.
Menurutnya, korupsi yang dilakukan terhadap kewajiban negara tersebut telah melanggar hak warga mendapatkan jaminan sosial. Hal itu terterasecara terang benderang dalam Pasal 28 H dan pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) serta Pasal 41 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).
“Maka dari itu, KPK didesak untuk mengusut tuntas semua pihak yang terlibat dan memberikan tuntutan yang setimpal hingga adanya putusan yang memberikan efek jera. Namun, dengan adanya kerugian luar biasa yang dialami masyarakat, khususnya dalam situasi kedaruratan pandemi seperti saat ini, upaya penghukuman saja tidak cukup. Perlu ada upaya khusus untuk dapat memulihkan kembali hak-hak masyarakat yang dirugikan,” tegas Kurnia.
Terpisah, Koordinator Visi Integritas Law Office Febri Diansyah mengungkapkan, pos pengaduan masyarakat dibuat untuk menjadi dasar kerugian publik dari penerima manfaat bansos.
“Pengaduan ini akan jadi dasar upaya hukum bersama atau gugatan publik menuntut pemulihan kerugian masyarakat sebagai korban korupsi serta pengawalan dan pengawasan untuk kebijakan penyaluran bansos berikutnya,” cetus Febrie.
Mantan juru bicara KPK ini menekankan, selain menuntut KPK untuk mengusut kasus dugaan suap bansos Covid-19 di Kementerian Sosial, masyarakat perlu memberukan kontrol. Dia menyebut, Posko Pengaduan Korban Korupsi Bansos mulai aktif pada 21 Maret – 4 April 2021.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: