Dewa Kipas Marketing Catur
Saya pernah main catur. Duluuuuuu. Sekarang mungkin sudah lupa. Mungkin saya memang tipe yang suka sesuatu yang terus bergerak. Jadi memang tidak pernah betah dengan catur atau golf. Tidak betah bukan berarti tidak suka lho ya!
Walau bukan pemain catur, saya ikut terseret kehebohan Senin, 22 Maret lalu. Terpancing ikut klik kanal Deddy Corbuzier di YouTube, menonton GM Irene Sukandar melawan Dewa Kipas. Saya tidak nonton utuh, pada dasarnya hanya nonton ronde pertama, tapi saya terus menerus tersenyum.
Jujur saya tidak mengikuti segala perjalanan kontroversi dan kehebohan menuju acara itu. Saya terpancing klik gara-gara teman-teman \"Taman Kanak-Kanak Dewasa\" di grup sepeda saya sedang heboh soal itu.
Walau tidak nonton utuh, saya mengaku terhibur.
Sport dan entertainment jadi satu!
Saya tidak akan ikut diskusi --atau mungkin perdebatan-- apakah ini pertandingan beneran atau bukan. Saya sudah belasan tahun melewati fase pertanyaan dan perdebatan seperti itu.
Dalam ajang itu, GM Irene Sukandar menang mudah. Menunjukkan kelasnya sebagai atlet catur. Dan dia menang hadiah lumayan, ratusan juta rupiah. Tapi, menurut saya, pemenang hari itu bukanlah dia.
Pemenangnya juga bukan Deddy Corbuzier. Walau jutaan orang menonton acaranya hari itu, dan dia mungkin mendapatkan penghasilan jauh lebih banyak dari sponsor, bila dibandingkan dengan biaya produksi yang relatif sederhana dan hadiah yang dikeluarkan.
Pemenang terbesar hari itu adalah catur.
Tidak mudah untuk sebuah olahraga untuk mendapatkan momentum maju seperti ini. Mau keluar uang banyak pun belum tentu bisa populer. Dan segala sensasi yang dirancang juga belum tentu bisa menarik perhatian seperti ini.
Setiap olahraga eksis karena punya partisipan dan penggemar. Ada olahraga yang lebih populer dari yang lain, tapi intinya semua olahraga punya partisipan dan penggemar sendiri, alias market-nya sendiri.
Tantangan bagi olahraga yang ingin menjadi lebih populer adalah bagaimana memperbesar pie atau kuenya sendiri. Membuat yang sudah suka jadi lebih suka, yang biasa-biasa suka menjadi suka, dan yang tidak kenal menjadi kenal. Bahkan, membuat yang tidak suka minimal untuk memperhatikan lebih baik.
Dulu, saya ingat betul ketika kali pertama memulai DBL. Kompetisi basket SMA yang kemudian berlangsung dari Aceh sampai Papua. Cerita ini selalu saya ulangi. Larut malam tahun 2004 itu, saya memasang sendiri spanduk di depan meja wasit, sebagai persiapan pertandingan final Jawa Timur keesokan harinya.
Seorang pria yang sangat senior, yang baru saja latihan basket di GOR Kertajaya Surabaya itu, mendatangi saya. Dia bertanya, \"Ini persiapan apa?\" Ketika saya beri tahu untuk final laga SMA, dia lanjut bertanya: \"Tiketnya bayar?\". Ketika saya jawab iya, hanya Rp 5.000 per tiket, dia makin serius bertanya: \"Memang ada yang mau menonton?\".
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: