DISWAY: Bambang Margiono
Bulan lalu saya ingin bertemu lagi dengannya, tapi selalu tidak cocok waktu. Hari itu saya makan pagi dengan Tomy Winata. Ia kirim salam untuk Margiono. Itu saja.
Meski menderita gula Margiono bisa mengendalikannya. Ia selalu melihat level gula darahnya. Belum pernah ada tanda bahwa ia harus mulai cuci darah. Ia semakin disiplin. Apalagi di masa Covid: ia tahu memiliki komorbid yang serius.
Di rumah sakit itu sesak napasnya bertambah. Hasil pemeriksaan mengindikasikan ginjalnya bermasalah: problem logis dari penyakit gula.
Maka Margiono harus masuk ICU. Prosedur standar masuk ICU harus dipenuhi: pemeriksaan lebih teliti. Ternyata positif Covid-19.
Tapi penyebab utama sesak napasnya adalah: banyak racun yang tercampur ke dalam darah. Ikut beredar pula ke seluruh tubuh. Darah tidak bisa menyerap oksigen. Napas pun sesak.
Berarti fungsi ginjalnya terganggu. Harus cuci darah. Di ICU itu.
Tiga hari lalu cuci darah dilakukan. Kondisi Margiono membaik. Besoknya dicuci lagi untuk kali kedua: lebih baik. Kemarin, menurut jadwal, cuci darah untuk kali ketiga.
Parameter hasil pemeriksaannya mulai normal. Tekanan darahnya baik. Detak jantung baik. Oksigen 99 –dengan ventilator.
Margiono masih ditidurkan. Sudah tiga hari ia tidur.
Seluruh keluarga dan orang dekatnya memeriksakan diri: semua negatif Covid. Mereka juga heran: di mana Margiono tertular. Dan mengapa tidak menulari mereka.
Yang jelas angka penularan se Indonesia kian tinggi. Setelah kini 7.000 sehari, tentu naiknya bisa jauh lebih besar lagi –secara matematis.
Ini gelombang ketiga bagi Indonesia. Atau gelombang keempat bagi dunia.
Di gelombang ketiga dunia, dulu, kita ditenangkan oleh grafik: tidak setinggi gelombang dua. Baik kasus barunya maupun tingkat kematiannya.
Lalu muncul teori: gelombang-gelombang berikutnya pasti kian menurun. Lalu menurun lagi. Terus begitu. Sampai akhirnya dianggap biasa: seperti flu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: