DISWAY: Demo Armando
Ulil Abshar Abdalla yang pernah jadi Ketua JIL, kini lebih sibuk jadi kiai mengajarkan Ihya Ulumuddin-nya filsuf Imam Al Ghazali.
Jadi, siapa yang mengeroyok Ade Armando sampai bonyok?
Dari yang ditangkap polisi tidak satu pun yang mahasiswa. Dari enam orang yang jadi tersangka, lima di antaranya pedagang kecil. Satu lagi masih dikejar.
Yang jelas Ade kini menjadi pusat pemberitaan dan opini di jagat medsos. Kasus Ade telah menenggelamkan isu utama yang diperjuangkan mahasiswa: anti tiga periode dan turunkan harga-harga. Tidak ada lagi orang bicara dua isu itu.
Ade telah membuat situasi politik lebih stabil –lewat pengorbanannya, termasuk foto ketelanjangan bentuk tubuhnya yang berumur 60 tahun.
Ade Armando telah menjelma menjadi tokoh utama peristiwa besar 11 April kemarin. Justru tidak satu pun nama tokoh mahasiswa yang mengorbit. Peristiwa besar melahirkan tokoh besar –dan itu Ade Armando. Bukan perangcang dan penggagas gerakan itu.
Di zaman medsos siapa pun mudah dibuat tidak satu kata dan satu kegiatan. Kelompok mahasiswa pun sudah terpecah-pecah. Mahasiswa Universitas Indonesia, misalnya, tidak berada di kelompok yang bergerak ini.
Tingginya popularitas Ade Armando sekarang ini tidak mustahil membuatnya sebagai tokoh politik tidak lama lagi. Apalagi ia sudah punya bendera sendiri –yang baru saya ketahui dari tulisan di kausnya kemarin: PIS (Pergerakan Indonesia untuk Semua). Siapa tahu kelak PIS –baca peace– jadi partai politik. Setidaknya bisa jadi ormas untuk mendukung satu partai politik.
Spirit untuk ke sana mestinya besar. Agar Ade bisa melakukan perubahan bangsa lewat kekuasaan.
Ia tentu punya \'\'dendam\'\' untuk membuat bangsanya tidak seperti masa kecilnya: miskin dan terkucilkan.
Miskin karena orang tuanya harus kehilangan pekerjaan sebagai tentara. Sebenarnya pangkat bapaknya lumayan: mayor. Jabatannya juga lumayan: atase militer di dua negara ASEAN.
Tapi Sang Ayah harus diberhentikan setelah terjadi G-30-S/PKI di tahun 1965. Mungkin dianggap terlalu Sukarnois –yang harus dibersihkan oleh Orde Baru.
Keluarga ini sampai harus merantau ke Malaysia untuk mencari penghidupan.
Di Malaysia Ade-kecil merasa dihina-hina. Ia tidak bisa bahasa Inggris. Itu yang membuatnya dendam sehingga akhirnya gigih belajar bahasa itu. Bahkan setelah lulus UI, Ade kuliah S-2 di Amerika, di University of Florida –yang kampusnya antara Orlando dan Atlanta. Lalu kembali ke UI meraih gelar doktornya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: