DISWAY BARU

PENGADILAN PAJAK PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 26/PUU/XXI/2023 : ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN

PENGADILAN PAJAK PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 26/PUU/XXI/2023 : ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN

Abdillah, S.H (Mahasiwa Magister Hukum Universitas Jambi Tahun 2024/2025)-Ist-

2 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 

2009 tentang Peradilan Umum. Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan pengadilan 

adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkup peradilan umum. Kemudian pada Pasal 

8 disebutkan bahwa dilingkungan peradilan umum dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur 

oleh Undang-Undang contohnya: Peradilan Agama, Peradilan Militer Dan Peradilan Tata Usaha 

Negara.

Terbentuknya wadah peradilan pajak ini awalnya bermula dari lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 (UU 6/1983) yang diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007 tentang Aturan Umum dan Cara Perpajakan (UU 6/2007). Pengadilan Pajak jalankan kuasa kehakiman untuk wajib pajak atau pihak yang tanggung pajak yang cari keadilan atas perkara pajak (Lihat: Pasal 2 UU 14/2002). Menurut Pasal 5 UU 14/2002, pembinaan teknis peradilan untuk Pengadilan Pajak diatur oleh Mahkamah Agung, tapi pembinaan organisasi, tata usaha, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak diatur oleh Departemen Keuangan (Kementerian Keuangan). Hal tersebut jadi fokus utama riset ini, sementara Pasal 5 UU 14/2002 bikin Pengadilan Pajak berdiri di atas 2 (dua) kaki, yaitu Mahkamah Agung (Yudisial) dan Kementrian Keuangan (Eksekutif), yang bisa rusak kemandirian kuasa kehakiman (Yudisial) yang bebas serta merdeka.

Putusan MK ini memberi kepastian, setidaknya secara normatif, bahwa Pengadilan Pajak merupakan bagian dari sistem peradilan di bawah Mahkamah Agung. Dengan demikian, kedudukannya sebagai peradilan khusus semakin diperkuat. Hal ini tentu membawa dampak signifikan, baik dalam konteks independensi hakim, jaminan kepastian hukum, maupun mekanisme penyelesaian sengketa pajak di Indonesia.

Optimisme Publik : Kepastian Hukum dan Keadilan

Dalam putusan tersebut dalam amarnya itu menyatakan bahwasannya frasa departemen keuangan atau yang selama ini kita kenal sebagai Kementerian Keuangan dalam pasal 5 ayat 2 undang-undang pengadilan pajak itu dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar sehingga dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengingkat sepanjang tidak dimaknai sebagai Mahkamah Agung. Keputusan tersebut dilaksanakan maksimal sampai tanggal 31 Desember 2026 jadi pembinaan pengadaan pajak itu pada tanggal tersebut harus sudah sepenuhnya di bawah Mahkamah Agung.

Menurut Montesquieu, bila kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada orang yang sama, atau dalam satu lembaga kehakiman, tidak mungkin ada kebebasan. Karena bisa terjadi penangkapan, kecuali kalau raja yang sama atau senat memberlakukan hukum sewenang-wenang serta menjalankan secara zalim. Dengan demikian, tidak ada kebebasan pula bilamana kekuasaan yudikatif tidak dipisahkan dari kekuasaan legislative dan eksekutif. Seandainya kekuasaan yudikatif digabungkan, kehidupan dan kebebasan warganegara akan berada pada pengawasan yang sewenang-wenang.

Pendapatnya tersebut menimbulkan pertanyaan, yaitu apakah mungkin suatu badan yudikatif yang ditempatkan di bawah kekuasaan eksekutif menjadi pihak yang memutuskan hukum yang sama bagi semua pihak? Padahal, salah satu komitmen persamaan di hadapan hukum dalam kaitannya dengan gagasan Locke adalah ketika muncul keadaan, “apabila seseorang merasa dirugikan oleh perbuatan-perbuatan negara yang dianggapnya telah melanggar hukum atau mengurangi hak-haknya secara tidak sah, maka negara dapat dituntut di muka pengadilan oleh orang yang bersangkutan tadi.”

Hakikat dasar yang ditarik dari kemungkinan kasus tersebut adalah badan yudikatif dapat bersikap independen dalam memutuskan perkara tersebut tanpa memandang kedudukannya yang berada di bawah kekuasaan eksekutif. Dalam hal ini Locke melupakan konsep dasar terpenting dalam suatu negara demokrasi, yaitu penyelesaian perselisihan yang terbaik dan kemungkinan terjadi antara warga negara dan negara adalah diserahkannya kepada badan yudikatif dengan alasan “kontrol segi hukum merupakan salah satu ciri pokok dari tugas badan peradilan, yaitu melakukan penilaian (toetsing) tentang sah atau tidaknya perbuatan pemerintah.”

Menurut undang-undang pengadilan pajak sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi pembinaan terkait dengan teknik peradilan pengadilan pajak itu merupakan kewenangan Mahkamah Agung sedangkan untuk pembinaan terkait dengan organisasi administrasi dan juga keuangan pengadilan pajak itu merupakan kewenangan dari Kementerian Keuangan. Adanya dualisme ini menimbulkan kekhawatiran bagi wajib pajak dan juga sudah mendapat kritik juga dari para akademisi dan juga praktisi terkait dengan dualisme ini dikhawatirkan menimbulkan adanya tidak independennya atau adanya intervensi dari Kementerian Keuangan dalam memutus perkara di pengadilan pajak.

Jika pembinaan organisasi dan juga administrasi kemudian keuangan pengalihan pajak itu ada di bawah Kementerian Keuangan, maka hakim-hakim pengadilan Pajak secara tidak langsung atau secara langsung itu digaji oleh Kementerian Keuangan. Kemudian kita juga melihat bahwasanya tempat bersidangnya juga di gedung keuangan sedangkan kita juga tahu Kementerian Keuangan ini kan juga merupakan pihak yang berperkara di pengadilan pajak.Bagi para wajib pajak, putusan ini memberi angin segar. Selama ini, banyak pihak mengeluhkan adanya ketidakpastian dalam proses penyelesaian sengketa pajak. Dengan adanya penegasan kedudukan Pengadilan Pajak di bawah Mahkamah Agung, diharapkan proses peradilan menjadi lebih transparan, akuntabel, dan konsisten.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: