Menakar Langkah Bisnis Jambi di Tahun 2024: Peluang, Tantangan, dan Arah Masa Depan

Selasa 24-12-2024,14:48 WIB
Editor : Setya Novanto

Meski demikian, tantangan besar tetap ada. Fluktuasi harga komoditas global dan tekanan inflasi yang mencapai 3,34% pada triwulan II-2024 menjadi ancaman nyata bagi stabilitas ekonomi rumah tangga. Di daerah terpencil seperti Kerinci, harga kebutuhan pokok yang tinggi semakin memperbesar beban masyarakat. Bagi banyak keluarga, ini bukan hanya soal ekonomi makro, tetapi soal keseharian: apakah mereka bisa tetap memenuhi kebutuhan dasar di tengah tekanan yang ada.

Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi Jambi pada tahun 2024 adalah cerita tentang perjalanan yang penuh harapan, tetapi juga penuh tantangan. Di balik angka-angka statistik ada kehidupan nyata masyarakat yang merasakan dampaknya langsung. Untuk menjaga momentum ini, pemerintah dan pelaku usaha perlu bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya tentang angka, tetapi tentang kehidupan yang lebih baik bagi semua orang. Jambi memiliki potensi besar untuk terus maju, tetapi hanya dengan kebijakan yang inklusif, bijaksana, dan berorientasi pada keberlanjutan, potensi itu bisa terwujud sepenuhnya. Di tengah segala tantangan, masih ada alasan untuk optimis bahwa Jambi dapat menjadi provinsi yang lebih kuat, adil, dan sejahtera bagi semua warganya.

Inflasi dan Stabilitas Harga

Inflasi di Provinsi Jambi pada triwulan II-2024 tercatat sebesar 3,34% (year-on-year), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 3,84% (yoy). Meski terjadi penurunan, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional yang berada di angka 2,51% pada periode yang sama. Perbedaan ini menandakan adanya dinamika ekonomi lokal yang memengaruhi kestabilan harga di Jambi, yang perlu dianalisis secara mendalam untuk memahami penyebabnya dan langkah-langkah yang diperlukan untuk menyeimbangkan kondisi tersebut (BPS, 2024).

Penurunan inflasi pada triwulan II-2024 sebagian besar didorong oleh deflasi pada bulan Juni 2024 sebesar 0,13% (month-to-month), dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,88. Penurunan ini mencerminkan adanya koreksi harga pada beberapa kelompok pengeluaran utama, termasuk bahan makanan dan transportasi, yang sebelumnya mengalami kenaikan signifikan selama Ramadan dan Idul Fitri. Namun, penurunan ini tidak seragam, dengan beberapa kelompok seperti perumahan, listrik, air, dan bahan bakar tetap menunjukkan tekanan harga yang stabil, bahkan cenderung meningkat di beberapa wilayah pedesaan (BPS Jambi, 2024).

Tingginya inflasi di Jambi dibandingkan rata-rata nasional dapat dijelaskan oleh sejumlah faktor struktural dan kontekstual. Salah satu penyebab utama adalah struktur ekonomi Jambi yang masih sangat bergantung pada sektor primer, terutama kelapa sawit dan karet. Fluktuasi harga komoditas ini tidak hanya memengaruhi pendapatan masyarakat, tetapi juga menekan biaya produksi barang dan jasa lain yang terkait erat dengan sektor tersebut. Sebagai contoh, kenaikan harga pupuk dan bahan bakar minyak (BBM) untuk kebutuhan agraris turut menyumbang pada tekanan inflasi di wilayah ini.

Faktor geografis juga memainkan peran penting. Distribusi barang kebutuhan pokok di daerah-daerah terpencil seperti Kerinci dan Sarolangun menghadapi tantangan logistik yang signifikan. Infrastruktur yang terbatas meningkatkan biaya distribusi, yang akhirnya diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga barang yang lebih tinggi. Misalnya, pada bulan April hingga Mei 2024, harga bahan pangan seperti beras dan minyak goreng di wilayah ini tercatat lebih tinggi 10-15% dibandingkan wilayah perkotaan Jambi (BI Jambi, 2024).

Dampak inflasi yang lebih tinggi di Jambi terhadap masyarakat cukup signifikan, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah. Daya beli masyarakat cenderung menurun, terutama di sektor kebutuhan dasar seperti pangan dan energi. Bagi rumah tangga yang menggantungkan penghasilan pada sektor agraris dengan pendapatan fluktuatif, tekanan inflasi ini menjadi beban tambahan yang mengurangi kapasitas mereka untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan.

Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah daerah perlu mengambil langkah strategis untuk menjaga stabilitas harga dan mengurangi dampak inflasi terhadap masyarakat. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah memperkuat infrastruktur distribusi barang untuk menekan biaya logistik, terutama di wilayah-wilayah terpencil. Selain itu, program subsidi harga untuk kebutuhan pokok yang lebih terarah dapat menjadi solusi sementara untuk menjaga daya beli masyarakat.

Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan upaya diversifikasi ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada sektor primer. Sektor-sektor seperti industri pengolahan dan pariwisata dapat menjadi alternatif yang mendukung stabilitas ekonomi, sekaligus menciptakan lapangan kerja baru yang tidak terlalu rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global. Di sisi lain, edukasi dan literasi keuangan bagi masyarakat lokal juga penting untuk membantu mereka mengelola keuangan rumah tangga dengan lebih baik di tengah tekanan inflasi.

Secara keseluruhan, inflasi yang lebih tinggi dari rata-rata nasional menunjukkan bahwa Provinsi Jambi masih menghadapi tantangan signifikan dalam menjaga kestabilan ekonomi lokal. Meski demikian, dengan langkah-langkah strategis yang berfokus pada penguatan infrastruktur, diversifikasi ekonomi, dan perlindungan daya beli masyarakat, Jambi memiliki peluang besar untuk mengurangi tekanan inflasi dan menciptakan ekonomi yang lebih stabil dan inklusif di masa depan.

Sektor Pertanian dan Pertambangan

Sektor pertanian dan pertambangan di Provinsi Jambi memainkan peran kunci dalam membentuk struktur ekonominya, tetapi juga menghadapi tantangan signifikan yang memerlukan perhatian serius. Kontribusi sektor pertanian sebesar 34,10% terhadap PDRB pada triwulan II-2024 mencerminkan pentingnya sektor ini dalam mendukung perekonomian daerah. Namun, data ini juga mengungkapkan ketergantungan yang besar pada komoditas primer seperti kelapa sawit dan karet, yang rentan terhadap dinamika pasar global dan dampak perubahan iklim. Fenomena El Niño pada tahun 2024 menjadi pengingat nyata akan kerentanan tersebut. Kekeringan yang berkepanjangan menyebabkan penurunan produktivitas tandan buah segar (TBS) hingga 12% di beberapa wilayah strategis seperti Tebo, Muaro Jambi, dan Batanghari. Hal ini tidak hanya mengurangi pendapatan petani tetapi juga memengaruhi industri hilir yang bergantung pada pasokan bahan baku dari sektor ini (BI Jambi, 2024).

Dampak negatif dari perubahan iklim semakin terasa dengan bencana banjir yang melanda sebagian wilayah kabupaten/kota, memperburuk daya dukung sektor agraris. Di sisi lain, fluktuasi harga komoditas primer di pasar global, seperti penurunan harga minyak sawit mentah (CPO) sebesar 3,2% secara tahunan pada triwulan III-2024, semakin memperberat beban sektor ini. Ketergantungan ekonomi pada sektor pertanian tanpa adanya upaya diversifikasi yang signifikan menjadi salah satu tantangan utama bagi pemerintah daerah untuk mendorong pertumbuhan yang lebih stabil dan berkelanjutan.

Sektor pertambangan, khususnya batubara, menjadi tulang punggung kedua dalam perekonomian Jambi. Dibukanya kembali jalur angkutan batubara via darat pada Mei 2024 menjadi langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi logistik dan produksi. Produksi batubara mengalami kenaikan yang signifikan, terutama karena permintaan domestik yang tinggi dari sektor energi. Namun, tantangan yang muncul dari pendangkalan debit Sungai Batanghari akibat musim kemarau menjadi hambatan besar dalam distribusi komoditas ini. Sungai Batanghari, sebagai salah satu jalur distribusi utama, mengalami penurunan kapasitas angkut, memaksa pelaku usaha mencari alternatif jalur yang lebih mahal dan kurang efisien (BPS Jambi, 2024).

Kondisi ini menimbulkan beberapa poin kajian kritis. Pertama, tingginya ketergantungan Jambi pada sektor berbasis eksploitasi sumber daya alam menunjukkan bahwa perekonomian provinsi ini masih rentan terhadap tekanan eksternal seperti fluktuasi harga global dan perubahan iklim. Kedua, hilirisasi sektor pertanian dan pertambangan yang seharusnya menjadi prioritas masih berjalan lambat. Sebagai contoh, pengolahan kelapa sawit di tingkat lokal untuk menghasilkan produk bernilai tambah, seperti biodiesel atau bahan kimia berbasis sawit, masih minim dibandingkan dengan potensi yang ada. Demikian pula, industri hilir batubara, seperti pembangkit listrik berbasis batubara, belum dikembangkan secara optimal untuk memberikan nilai tambah lokal.

Kategori :