“Dunia udah berjalan dengan semestinya, nggak apa – apa untuk merasa menyesal dalam beberapa peristiwa, wajar aja karena manusia juga butuh berkaca untuk langkah kedepannya.”
-Reno
>>>***<<<
Riana termenung di taman, dia tidak sendirian, walau bukan Sandra dan Budi yang menjadi temannya. Riana tidak tahu mengapa akhirnya ia bisa luluh menerima ajakan Reno, bahkan Riana tidak berpikir dua kali untuk mengangguk disaat Reno menawarkannya untuk jalan – jalan sore setelah pulang bekerja. Rasanya seperti dejavu, Riana dan Reno seolah mengulang masa – masa mereka dulu, masa dimana menjadi kanak – kanan teramat bahagia sebelum beranjak dengan perjuangan yang tidak akhirnya, bahkan masalah yang tak kunjung usai, selalu ada saja setiap harinya.
“Masih rasa semangka kan?” Tanya Reno pada Riana yang tengah berayun, Riana tidak repot – repot untuk menjawab ataupun mendongkak, ia senatiasa berasa di posisinya, mempertahankan dirinya untuk tidak sama sekali bersitatap dengan Reno, mengambil eskrimnya dan menikmatinya, bahkan tanpa ucapa terimakasih. Sang empu yang diperlakukan begitu hanya tersenyum kecil, Riana kecilnya banyak berubah, sosok ceria itu begitu dingin padanya kini.
Reno duduk berayun, bersisian dengan ayunan Riana. “Luka masa lalunya masih belum bisa diajak damai ya, Na?” Tanya Reno setelah keterdiaman mereka satu sama lain. Riana masih dengan diamnya, tidak ada sepatah kata apapun yang keluar darinya selain hembus nafas yang terasa begitu berat dan lelah.
Reno terkekeh mencoba mencairkan suasana, “Lo tau nggak sih Na, waktu di kanada gue culture shock banget, ternyata bahasa inggris gue nggak ada apa – apanya dibanding bule – bule disana, apalagi pakaian mereka, astaga minim – minim banget, gue sampe nggak tau kudu ngucap berapa kali liat mereka. Disana pemandangannya juga keren, gue paling benci musim salju, ternyata musim yang kita kiranya indah dan asyik, nggak sesyik itu, gue selalu sakit waktu musim salju karena nggak tahan dinginnya. Lama – lama disana tu rasanya pengen cepet – cepet balik ke Indonesia, kayak ihh lama banget sih lulusnya,” Reno bercerita tiba – tiba dengan panjang lebar.
“Tau nggak apa yang bikin kangen di Indonesia, kata mereka orang Indonesia itu terlalu mencampuri urusan orang lain, soalnya disana tingkat individualisnya tinggi banget. Gue kangen Indoensia karena Cuma di Indonesia, saat dimana gue merasa nggak bisa berdiri dengan kedua kaki gue, ada banyak tangan yang ngulurin dan ngebantuin gue berdiri, saat tawa gue mulai hilang sumbernya, gue punya banyak sumber lainnya buat ketawa, bahkan serandom orang jalan aja, di Indonesia gue bisa ketawa dengan puas, sepuas – puasnya gue.” Reno mengakhiri cerita.
“Di Indonesia juga gue bisa punya tempat pulang, senyaman nyamannya pulang dari lelah dan susahnya jadi dewasa.” Bisik Reno, ia bangkit dari ayunannya mengusak kepala Riana lembut.
“Nanti kalo luka sama kisahnya udah nggak bisa ditahan sendirian, selalu ada stok eskrim semangka yang banyak, khusus buat Riana.” Reno tertawa sumbang, “Adek abang kuatnya nggak main – main, sampe abang lupa, abang nggak ada peran buat kamu, bahagia terus ya sayangnya abang.”