“Hidup itu suka yang namanya tiba – tiba, dadakan dimana – mana, sedangkan manusia suka semaunya, jadi kalo ada apa – apa itu let it flow aja. Jangan semuanya jadi beban, nggak kerasa tiba – tiba udah selesai aja itu urusan.”
-Budi Setiaman, Manusia Santuy 2022-
“P untuk Pusing, Puyeng, Pening, dan butuh duit buat toch – up”
-Sandra, Make-up elit tapi duit sulit-
“Kalo Jin tomang beneren ada, gue pengen minta manusia kaya budi sama Sandra lebih diwarskan sedikit akal dan pikirannya.”
-Riana, lelah batin 2022-
>>>***<<<
Riana memejamkan matanya diantara ramainya manusia yang berdesakan di dalam bus, langit masih biru dan matahari belum ada hilalnya sama sekali. Namun, Riana harus menerima kenyataan bahwa hidupnya tidak selapang itu untuk berleha – leha di minggu paginya kini.
Dengan kameja hitam putih seadanya, dan rok hitam span di bawah lutut yang terlihat sedikit kusut, Riana dengan santai mengambil dua bangku bus sekaligus, menjadikan tas sandangnya sebagai tumpuan sekaligus bantal dan tertidur dengan nyaman tanpa peduli orang lain yang menatapnya sinis. Riana tahu tindakannya egois, tapi alih – alih peduli, Riana memilih acuh.
Toh, hidup tidak akan selalu berpusat padanya, nanti saat Riana turun pun orang – orang akan melupakannya, tidak akan ada yang ingat dengan kelakukannya, dan untuk Riana hal itu sepadan, gunjingan sesaat dibayar dengan kenyamanan sesaat untuknya.
“Senayan!” Kondektur Bus berteriak, menjadi detik – detik terkahir Riana mampu memejamkan matanya, Riana memberi tiket cepat, dan berlalu begitu saja, tanpa senyum atau ucapan terimkasih. Riana akan selalu menjadi manusia yang menyebalkan, seperti biasanya ia dan julukan, si Medusa atau manusia berdarah dingin. Riana memakai earphone-nya, menyetel lagu yang sama setiap harinya, ‘Rose-Gone’. Tidak ada alasan khusus mengapa Riana harus menyetel lagu itu setiap harinya, seolah menjadi kebiasaan bahwa lagu pertama yang akan ia dengarkan sebelum menjalani harinya yang sudah seperti Roler-Coster adalah lagu itu.
All my love is gone, lirik lagu yang tepat mengambarkan Riana dan kehidupannya. Hidup Riana tidak sesedih itu untuk dikasihani atau diberi simpati, ia masih selayaknya orang lain, masih sama dengan kebanyakan orang – orang, mengeluh tentang susah dan lelahnya bekerja dari pagi ke pagi, tapi tak juga bisa berhenti. Relasi yang tidak berkembang, rumah yang rasanya tidak seperti rumah, dan sepi yang terus ada ditengah ramainya orang. Riana tidak pernah menyesali, diantara banyaknya langkah yang sudah ia lalui, diantara banyaknya penyesalan dan salah yang ia sadari, Riana masih berhenti di tempat yang sama, tempat ia berkubang dengan dirinya tanpa orang lain. Riana tidak berkembang, untuk beberapa hal ia biarkan, biar busuk semakin busuk, biar hancur semakin hancur.
Riana mengusap perutnya lapar, padahal berkali – kali Riana merasa sakit dengan rasa maag yang menyerangnya, berkali – kali juga Riana terus melupakan sarapannya. Riana begitu egois, bahkan untuk dirinya sendiri. Riana jadi ingat saat dimana ia masih punya rumah yang hangat, tempat ia berkeluh kesah dengan mudahnya, saat dimana malaikatanya masih ada, saat Mama masih ada di sisinya.
“Semoga cantiknya mama ini bahagia selalu ya!” Suara itu mendawai dengan lembutnya, mengantar senyum paling tulus yang pernah Riana temui wujud nyatanya. Hari itu, tepat hari terkahir, Riana mampu merasa peluk hangat, sebelum ia ditinggalkan cinta satu – satunya.
“Riana bahagia Ma, selalu, tapi ada yang kurang…” Bisik Riana pada dirinya sendiri, “ternyata bahagia sendiri itu hampa ya Ma?” Dan volume musik menjadi satu – satunya yang mampu Riana kuatkan selain hatinya, untuk pagi biru yang terjadi tiba – tiba.