“Nggak ada luka yang biasa – biasa saja, bahkan disaat mati rasa itu menetap disana, air mata masih bisa mengalir dengan derasnya, tanda bahwa kita juga sama kecewanya, sama lelahnya, sama sakitnya.”
>>>***<<<
Manusia itu selalu punya kisah, sebab setiap orang selalu punya langkah dan perjalanan, bahkan disaat langkah mereka terhenti dan diam, dialog saja bisa menjadi narasi yang begitu panjang dalam kisah mereka. “Diantaranya banyaknya kemungkinan, akhir mana yang paling lo pengen?” Pertanyaan itu akhirnya meluncur dari benak Bian, membuat tiga remaja lainnya terbungkam, sebab jika ditanya, jawabannya akan selalu sama, mereka tidak tahu dan mereka tidak ingin.
“Nggak bisa ya kita terus lanjut,” Tanya Jinan, cukup menyegarkan melihat Jinan yang tidak lagi membawa buku dan kumpulan rumusnya, bahkan Jinan sengaja melepaskan kacamatanya.
“Coba pikir ulang, yang abadi nggak selamanya pasti,” Jingan menasehati, tidak ada yang bisa menyangkal Jingan sebab mengatakan pasti adalah hal yang paling tidak mungkin mereka lakukan, diantara banyaknya peluang yang bisa jadi titik balik atau titik hancur mereka, takdir terlalu melucu, jadi cukup lukanya disini – sini saja, jangan lagi untuk kedepannya.
“Gapapa, ada baiknya emang Cuma sampe disini aja, kita bakal bahagia, lupa nggak akan selalu salah.” Jawab Sandi riang, mungkin diantara keempatnya, Sandi lah yang paling berlapang dada, tidak ada tuntutan lebih selain senyum terbaik miliknya, ia tidak pasrah, hanya saja ikhlas mampu membuatnya jauh lebih lega disaat ia memaksakan segalanya.
Bian tertawa, “Jangan ngomong aneh – aneh lagi Sandi, yang tahan sama omongan lo Cuma kita – kita,” Ejek Jingan, matanya berkaca, rasanya bahagia, juga kecewa, dalam beberapa menit kedepan semua rasa akan tumpah ruah. Jinan menepuk punggung Jingan keras, “Nggak usah sok nasehatin lo, jangan lagi malas – malasan ya, manusia yang tahan temenen samo lo itu Cuma kita, kurang baik apa tiap hari ngebolehin lo nyontek pr hah?!” Nada suara Jinan bergetar, namun ia tahan dan menatap teman – temannya layaknya biasa ia melayangkan protesan.
“Lo juga nggak usah ansos banget jadi orang, memanya itu buku sama rumus mtk bisa ngasih lo tebengan kalo ban bocor.” Kali ini Sandi mengingatkan Jinan yang dibalas Jinan dengan cemburutan sebal. Bian menikmati setiap momen yang terjadi, berusa menyimpannya di memori yang paling kuat, takut – takut ia lupa dan tak mengingat lagi esok hari. Asyik dengan pikirannya, Bian dapat merasakan tiga peluk yang datang padanya tiba – tiba.
“Yang bahagia jadi manusia, karena kita cuma kenal satu Bian, gapapa lupa, asal kecewanya juga nggak ada. Baik – baik ya sahabat kita.”
Ternyata mau setabah dan seikhlas apapun dia, perpisahan dan kenangan tetap jadi luka, bahkan sekalipun penuh cinta.
“Kalian juga, bahagia selalu.”
Hari ini, esok atau nanti. (bersambung)