Fenomena sosial bangsa Indonesia saat ini menunjukkan disorientasi nilai yang sangat memprihatinkan. Banyak elite politik korup, aparat penegak hukum korup, masyarakat bermental instan ingin kaya dan gampang marah, serta aparat negara bertindak brutal dan radikal.
Disorientasi nilai terjadi hampir di berbagai aspek kehidupan. Publik terlampau sering melihat kemunafikan pemimpin yang tidak memiliki integritas. Panggung politik selalu gaduh. Satu per satu politisi tersangkut kasus korupsi, seperti kasus proyek Hambalang, kuota impor daging sapi, dan pengadaan Al Quran. Di tambah lagi aparat penegak hukum juga sudah terjerat dalam lingkaran korup dan suap seperti kasus Akil Mukhtar sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, Djoko Susilo sebagan Mantan Kepala Korp Lalu Lintas Polri, Setyabudi Tejocahyono sebagai Mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung, Asmadinata sebagai mantan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Semarang, Pragsono sebagai mantan Hakim Pengadilan Tipikor Semarang, Sistoyo sebagai mantan Kepala Subbagian Pembinaan Kejari Cibinong, Iwan Siswanto sebagai mantan Kepala Rumah Tahanan Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok, dan Lilil Sri Haryanto sebagai Direktur Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum semua ini adalah aparat penegak hukum yang terjerat hukum.
Ditambah lagi konflik sosial yang mudah meletus. Masyarakat bermental instan untuk mendapatkan hasil cepat hingga terjebak investasi bodong. Bertambah runyam karena aparat negara yang seharusnya menciptakan kedamaian dan stabilitas justru menciptakan keonaran seperti dalam kasus penyerangan terhadap Markas Kepolisian Resor Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan.
Pada saat yang sama, para pemimpin bangsa dinilai lemah dan tak sungguh-sungguh melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Tanpa keteladanan elite politik dan para pemimpin, bangsa ini cenderung mengalami anomi, yaitu kehilangan pegangan terhadap nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.
Disorientasi nilai terjadi hampir di berbagai aspek kehidupan. Publik terlampau sering melihat kemunafikan pemimpin yang tidak memiliki integritas sehingga sebagian masyarakat juga mengambil jalan menerabas, mencari jalan mudahnya, dan tidak lagi percaya pada hukum.
Kemunafikan menunjukkan lemahnya integritas pemimpin tersebut. Ketika pemimpin meminta elite politik tidak gaduh, tetapi pada saat sama justru gaduh dengan kemelut internal di partai politik.
Bangsa Indonesia sekarang ini sudah ”KACAU BALAU” akibat sudah terlalu banyak “penyakit” yang sudah kronis menyerang seluruh sendi kehidupan. Moral dan etika sudah tumpul, bahkan rusak, sedangkan nilai-nilai kebaikan, moral, budaya liar kian meng-gila.
Salah satu akar masalahnya adalah kepemimpinan yang lemah dan tidak mampu memberikan keteladan. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dipegang lagi, sementara elite politik semakin pragmatis dan transaksional.
Semangat Sumpah Pemuda Pemersatu Membangun Bangsa.
Peringatan hari Sumpah Pemuda Indonesia yang selalu kita laksanakan setiap tanggal 28 Oktober tiap tahunnya, peristiwa bersejarah yang dilakukan oleh para pemuda Indonesia pada waktu itu, senantiasa menjadi pelajaran berharga serta memberikan hikmah untuk kita jadikan pedoman pemikiran, pijakan dan barometer bagi kita, generasi bangsa yang hidup di era kemerdekaan ini untuk mengawal dan meneruskan cita-cita perjuangan mereka.
Setidaknya ada tiga hal penting yang dapat kita petik sebagai hikmah dari peringatan Sumpah Pemuda kali ini: Pertama, semangat heroisme dan patriotisme pemuda Indonesia saat itu muncul dari kesadaran historis bangsa Indonesia yang telah beratus-ratus tahun dijajah oleh kekuatan kolonialisme. Politik devide et impera atau politik pecah belah kaum kolonialisme dan imperalisme asing berhasil membuat kekuatan dalam tubuh bangsa kita tercerai berai. Perpecahan itulah yang akhirnya membuat kita lemah tak berdaya. Kesadaran historis itu pulalah yang telah membentuk kesadaran situasi dan membentuk pikiran serta sikap kolektif pemuda-pemuda Indonesia untuk merumuskan kembali strategi perjuangan dan melakukan perlawanan secara lebih sistematis. Dengan metode berpikir yang mereka gunakan, momentum Sumpah Pemuda Indonesia itu telah berhasil merumuskan strategi perjuangan baru bangsa Indonesia, dengan menggalang persatuan nasional melalui pernyataan kehendak dan tekad bersama untuk bersatu yakni berbangsa, berbahasa dan bertanah air satu: INDONESIA sebagai antitesis politiknya.
Kedua, pergerakan perjuangan pemuda Indonesia pada waktu mempunyai arah dan tujuan yang jelas yakni merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Mereka tidak terjebak pada persoalan-persoalan perbedaan agama, kesukuan, ras, kedaerahan dan golongan. Bagi mereka, kemerdekaan dan kemuliaan bangsa Indonesia adalah mission sacre yang harus menjadi tujuan bagi segenap gerakan pemikiran dan perjuangan pemuda Indonesia pada waktu itu. Semangat persatuan nasional yang mereka kobar-kobarkan itulah yang akhirnya menjadi roh, jiwa dan sekaligus menjadi energi serta kekuatan bangsa Indonesia. Berkat persatuan dan kesatuan segenap kekuatan bangsa pada waktu, akhirnya kita mampu melawan dan mengusir penjajah asing dari bumi Indonesia.
Ketiga, hikmah berikutnya yang dapat kita petik dari peristiwa Sumpah Pemuda itu adalah semangat pantang menyerah dan rela berkorban demi kepentingan bangsa yang lebih besar. Mereka tidak hanya mengorbankan harta benda yang mereka miliki, tetapi juga rela mengorbankan jiwa dan raga mereka. Kesadaran politik yang muncul dalam semangat perjuangan mereka, telah menjauhkan pikiran, sikap dan tindakan mereka dari kepentingan-kepentingan yang bersifat kepentingan golongan, kelompok apalagi individu.
Pertanyaan bagi kita semua saat ini adalah, apakah masih relevan kita selalu memperingati hari Sumpah Pemuda ini dan di manakah letak relevansinya bagi kita semua khususnya generasi muda bangsa Indonesia? Bagi saya jawabannya adalah sangat relevan. Faktor relevansinya terletak pada tantangan jaman yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini secara susbtansial sesungguhnya memiliki kesamaan dengan tantangan yang dihadapi oleh pemuda-pemuda Indonesia angkatan 1928. Faktor diferensiasinya hanyalah terletak pada konteks dan jamannya saja.