JAKARTA - Meski majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak mencabut hak politik dari terdakwa Gubernur Banten nonaktif Ratu Atut Chosiyah, namun dia divonis bersalah dengan hukuman 4 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsidair 5 bulan kurungan. Atut terbukti menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar sebesar Rp 1 miliar terkait penanganan sengketa hasil Pilkada Lebak, Banten.
Vonis ini jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa. Jaksa yang dipimpin Edy Hartoyo menuntut Atut dengan pidana 10 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsidair 5 bulan kurungan.
Majelis hakim saat membacakan putusan dalam persidangan kasus dugaan suap sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Lebak, Banten menyampaikan berbagai pertimbangan.
\"Menimbang dalam perkara terdakwa Ratu Atut Chosiyah tidak didakwa dengan Pasal 18 UU Nomor 31/1999. Oleh karenanya terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana yang dimaksud Pasal 18,\" ujar hakim anggota Sutio Jumagi membacakan pertimbangan putusan Ratu Atut.
Menurut Majelis hakim, terdakwa telah dinyatakan secara terbukti bersalah melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana penjara. Oleh karena itu, dengan sendirinya ada hukuman moral masyarakat atas statusnya tersebut.
\"Belum lagi masih proses perkara korupsi lain sehingga dengan sendirinya akan terseleksi secara alamiah di masyarakat,\" sambung hakim.
Masyarakat juga dianggap sudah dapat membedakan rekam jejak tokoh politik yang akan dipilih sebagai pemimpin sehingga tidak perlu sampai pencabutan hak politik.
\"Masyarakat Banten sudah cerdas dalam menilai seseorang untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik dan dengan sendirinya bagi orang akan tereleminir sendiri sekalipun hak-hak tidak dicabut hak tertentu seperti tuntutan penuntut umum,\" papar hakim.
Hakim Beda Pendapat Soal Vonis Atut
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berbeda pendapat (dissenting opinion) dalam membuat putusan vonis terhadap Gubernur Banten nonaktif Ratu Atut Chosiyah. Satu hakim yang berbeda pendapat adalah hakim anggota empat Alexander Marwata.
Menurut Alexander sesuai dengan pasal 6 Ayat 1 huruf a Undang-Undang (UU) nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perbuatan Atut tidak mencerminkan bahwa dirinya memiliki niat untuk bekerjasama dengan Tubagus Chaeri Wardana dalam memberi suap pada Akil Mochtar. Uang itu untuk suap sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Lebak, Banten.
\"Yang jadi persoalan apakah terdakwa punya niat bekerjasama dengan Wawan (Tubagusu Chaeri Wardana) untuk berikan uang kepada Akil. Apakah pemberian 1 miliar kepada Akil akan tetap terlaksana meski tidak ada persetujuan terdakwa,\" ujar Alexander saat membacakan pertimbangannya dalam sidang Atut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin, (1/9).
Menurut Alexander, pertemuan Atut dan Akil di Singapura yang tak sengaja terjadi tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan mendukung dugaan perbuatan korupsi. Terdakwa, kata Alexander juga tidak pernah memberi instruksi untuk melakukan penyuapan tersebut.
Alexander menyatakan pertemuan Akil dengan Wawan adik Atut karena mantan Ketua MK yang mengundang. Namun, Wawan tidak merespon permintaan Akil di pertemuan itu. Terdakwa dianggap tak tahu menahu beberapa pertemuan itu.
\"Terdakwa tidak pernah diminta persetujuan baik lisan maupun tulisan untuk mengajukan keberatan ke MK,\" imbuh Alexander.