Yang juga mengagetkan Suryani, meski dananya dipangkas habis, jumlah pasien SIMH bukannya berkurang, tapi malah bertambah banyak. Yakni, dari awalnya 339 orang \"membengkak\" menjadi 684 pasien.
\"Mungkin karena keberhasilan penanganan sebelumnya, akhirnya banyak yang meminta bantuan pengobatan kepada kami,\" paparnya.
Meski begitu, Suryani merasa puas karena 37 persen (253 orang) dari 684 pasien bisa sembuh tanpa perlu menggunakan obat lagi. Selanjutnya, 62 persen (424 pasien) mengalami perbaikan, meski masih memerlukan obat. Sementara itu, hanya satu persen yang tidak mengalami perubahan apa-apa.
Hingga kini, setidaknya sudah ada 79 pasien gangguan jiwa yang sukses dibebaskan dari pasung oleh Suryani. Selain itu, sekitar 1.000 pasien sudah berhasil ditangani. Para pasien tersebut berasal dari beberapa kabupaten seperti Buleleng, Karangasem, dan Gianyar.
Dalam menangani pasien, ibu enam anak tersebut tidak segan turun langsung ke lapangan. Bersama putra bungsunya, Cokorda Bagus Jaya Lesmana yang juga psikiater, Suryani mendatangi rumah-rumah pasien yang letaknya cukup jauh dari perkotaan, dengan kondisi jalan yang berbatu, tidak beraspal, serta berbukit. Tidak jarang, dia harus berjalan kaki untuk bisa sampai ke rumah pasien.
\"Kebanyakan pasien itu tinggal di daerah-daerah terpencil. Karena konsep saya tidak hospital based, saya jemput bola dengan mendatangi pasien-pasien itu. Sekalipun jauh, jalannya sulit, saya harus ke sana. Memang, kadang ngeri karena kiri-kanan jurang,\" ungkapnya.
Metode penanganan pasien gangguan jiwa yang digunakan Suryani sedikit berbeda dengan metode-metode ilmu psikiatri umumnya. Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu menciptakan metode sendiri. Yakni, menggabungkan Western concept dengan Eastern concept. Suryani menyebutkan, konsep pendekatan itu adalah kosep pendekatan biopsikospirit sosiobudaya.
\"Penanganan yang kami lakukan di masyarakat merupakan perpaduan konsep Timur yang berorientasi pada asas kekeluargaan, kemasyarakatan, dan kepercayaan dengan agama yang dianut dipadu dengan konsep spiritual dan konsep Barat. Jadi, tidak mengubah kebiasaan dan kenyamanan pasien,\" paparnya.
Namun, konsep Suryani tersebut ditentang keras oleh godfather psikiatri Indonesia, Prof Kusumanto Setyonogoro, yang menggagas pendekatan ekliktik holistis yang banyak diikuti psikiater di Indonesia. Prof Kusumanto bahkan menyebut Suryani bukan seorang psikiater atau ilmuwan karena memadukan Eastern concept yang identik dengan hal-hal yang berbau religius bahkan mistis. Meski mendapat tentangan seperti itu, nenek 17 cucu tersebut tidak gentar.
\"Saya menolak pernyataan Prof Kusumanto tersebut dan menegaskan bahwa saya adalah psikiater dan ilmuwan murni. Pasien saya adalah masyarakat Bali yang telah menerima konsep ini, bukan para psikiater itu,\" tegasnya.
Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu pun membuktikan bahwa konsep karyanya mampu menyembuhkan para pasien gangguan jiwa berat. Di antaranya, para pasien yang sudah mengalami pemasungan selama bertahun-tahun. Ada tiga proses penyembuhan yang dilakukan Suryani. Pertama, pemberian obat yang terjangkau bagi pasien seperti obat generik. Dia kadang juga memberikan injeksi kepada pasien, khususnya pasien gangguan jiwa berat.
Kedua, metode penyembuhan pasien yang didukung proses meditasi relaksasi spirit. Ketiga, setelah sembuh, pasien dan keluarganya diharapkan melakukan semacam upacara adat yang disebut upacara penglukatan untuk membebaskan pasien dari unsur luar yang mengganggu jiwa. Perpaduan unsur ilmiah disertai unsur-unsur nonilmiah itulah yang kemudian menjadi kontroversi di kalangan psikiater.
\"Tentangan tersebut menantang saya untuk membuktikan bahwa apa yang saya lakukan cocok untuk masyarakat Bali dan masyarakat lainnya,\" tuturnya.
Suryani menegaskan, upacara penglukatan mampu membantu penyembuhan pasien. Dia bahkan menuangkan penelitian terkait dengan hal tersebut dalam disertasinya yang berjudul Psikosis Akut pada Orang Bali yang Beragama Hindu di Bali: Suatu Studi Pendekatan Kliniko-Sosiobudaya (1988).
Dalam penelitiannya, Suryani menemukan pasien yang sudah sembuh dan bisa bersosialisasi dengan masyarakat, tapi masih merasakan otaknya kosong. Setelah melakukan upacara penglukatan, pasien akhirnya mampu melepaskan diri dari perasaan tidak nyaman.
\"Begitu merasakan otaknya berisi, itu berarti otaknya mulai berfungsi. Pasien juga bisa diterima keluarga dan lingkungan sebagai orang normal. Tidak ada lagi stigma bagi pasien dan keluarganya. Dengan metode itu, pasien bisa hidup dan bergaul dengan keluarga dan masyarakat sehingga tidak memerlukan adaptasi baru lagi,\" bebernya.