Terpisah, alasan MKD yang mempermasalahkan legal standing Sudirman dinilai mengada-ada. Direktur Advokasi dan Monitoring Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri menilai, patut dipertanyakan alasan MKD untuk menunda rapat pleno karena mempermasalahkan kedudukan (lega standing) Sudirman selaku pengadu.
Ronald menjelaskan, kentuan yang dirujuk MKD adalah Pasal 5 ayat (1) Peraturan DPR No 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD. Padahal konstruksi pasalnya menggunakan kata dapatdan sesuai dengan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lampiran II UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di BAB III, terkait Ragam Bahasa Peraturan Perundang-undangan pada huruf B.
\"Kata dapatdigunakan untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga (dalam hal ini MKD). Jadi MKD tidak perlu merasa kehilangan cantolan ketentuan dari yang sudah diatur Pasal 5 ayat (1) tersebut,\" kata Ronald.
Menurut Ronald, MKD memiliki diskresi untuk menentukan kriteria baru tentang identitas pengadu, apabila dianggap tidak diwakili oleh seluruh kriteria yang ada di Pasal 5 ayat (1). \"Bukan kemudian mempermasalahkan tidak adanya kriteria yang cocok dengan identitas pengadu, dalam hal ini Sudirman Said,\" ujarnya.
Keputusan memanggil pakar hukum untuk menafsirkan bahasa, kata Ronald, tidak bisa dilakukan sembarangan. Pakar hukum itu harus punya jam terbang tinggi dan penguasaan yang sangat komprehensif tentang legislatif drafting (perancangan peraturan perundang-undangan).
Menurut Ronald, MKD juga terlalu rumit dalam melakukan pembahasan tindak lanjut kasus pencatutan nama Presiden dan Wapres. Terlepas dari pengaduan Sudirman, MKD sebenarnya bisa menempatkan kasus Novanto dalam dugaan pelanggaran kode etik yang tidak memerlukan pengaduan. Pasal ini terbuka dan diatur berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf b Peraturan DPR No 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa perkara tanpa pengaduan salah satunya adalah (dugaan) pelanggaran UU MD3, peraturan DPR, dan kode etik yang sudah menjadi perhatian publik. \"Apa yang dialami Novanto bisa masuk kategori ini,\" tandasnya.
Senada dengan Ronald, peneliti politik dan korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, alasan MKD menunda sidang sangat janggal. \'Setiap orang itu punya hak untuk melaporkan dugaan pelangaran etik wakil rakyatnya ke MKD,\' ujar Donal. Menurut dia, MKD harusnya berfokus pada substansi laporan bukan pada siapa pelapornya.
Dia pesimis dengan penanganan MKD terhadap Setya Novanto. Apalagi sampai hari ini belum ada putusan apakah sidang akan digelar terbuka atau tertutup. \'Sejak awal sudah seperti ini. Ya sulit mengharapkan putusannya nanti obyektif dan sesuai harapan masyarakat,\' ujarnya.
MKD Dituntut Terbuka
Terpisah, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberikan saran bagi MKD agar lebih terbuka kepada publik. ‘’Kalau memang menggelar sidang, kalau boleh kami sarankan, lakukan secara transparan, terbuka, dan akuntabel,’’ujarnya saat ditemui di Pusat Dakwah Muhammadiyah di Jakarta kemarin.