Itulah yang saya maksud dengan hoki yang diupayakan.
Pak Irwan masih belum bisa menerima. Ia tidak seperti itu. Ia mengaku bukan orang yang rajin. Tubuhnya pun bukan tubuh yang kuat dan enerjetik.
Saudara-saudaranya punya tubuh yang tinggi. Ada yang 175 cm, ada yang 179 cm. Ia hanya 168 –seperti saya.
Pun waktu bayi. Ia sakit-sakitan tiada henti. Sakit apa saja pernah ia alami. Istilah modern sekarang disebut stunting.
Karena itu ketika usia Pak Irwan baru tiga bulan, masih bayi, sudah diberikan ke \'orang lain\'. Untuk diambil anak. Dengan kepercayaan agar tidak sakit-sakitan lagi.
\'Orang lain\' itu adalah neneknya sendiri. Jadilah Irwan anak neneknya.
Semua itu karena sang ibu punya banyak anak: 9 orang. Irwan anak ke-7. Tiap tahun ibunya melahirkan. Saat Irwan berumur tiga bulan itu sang ibu sudah hamil lagi.
Karena tidak bisa mendapat air susu, bayi Irwan diberi makan tajin –kuah dari nasi yang sengaja diberi air lebih banyak. Kondisi ekonomi memang lagi sulit. Belanda dan Inggris melakukan agresi pertama sampai ke Jogja. Perang tidak berkesudahan. Ekonomi masyarakat menjadi sangat berat.
Saat perang itu sang nenek membuka usaha jualan bahan-bahan untuk jamu. Di Jogja.
Ketika sang nenek harus mengungsi ke Semarang –untuk menghindar jadi korban perang– Irwan diajak mengungsi.
Di Semarang itulah sang nenek mulai membuat produksi jamu. Dari pengalaman sang nenek jualan bahan baku jamu di Jogja. Itulah riwayat lahirnya jamu Sido Muncul. Tahun 1951. Di saat ketika banyak jamu lain sudah lebih dulu terkenal: ada jamu Jago, Nyonya Meneer, Nyonya Item, Nyonya Go, dan seterusnya.
Saat remaja pun Irwan bertubuh kerempeng. Bahkan ketika di umur yang seharusnya punya berat badan 63 kg, Irwan hanya 46 kg.
Saya pun baru tahu: Irwan itu ternyata keturunan orang kaya raya. Kakek buyutnya adalah adik kandung Oei Tiong Ham –orang terkaya se Asia di zaman itu.
Kapan-kapan saya akan bertemu khusus Pak Irwan untuk menggali kisah leluhurnya di Semarang itu.
Sebelum itu biarlah saya percaya dulu bahwa sukses Pak Irwan benar-benar semata karena hoki.(Dahlan Iskan)