Kartun itu bertuliskan “Don’t take this the wrong way…”
Sementara caption kartun itu tertulis “No Offence Intended”.
Kartun tersebut dibuat oleh kartunis terkenal di Australia, Bill Leak.
Perang kartun antar media ini membuat hubungan Indonesia dan Australia kian memanas. Meski kemudian, dalam pernyataan resminya, kedua negara menyatakan menyesalkan kartun-kartun tersebut dan menyebutnya dengan produk jurnalistik berselera rendah.
Mulut Mega Bau Solar
Sengatan Rakyat Merdeka juga menuju istana negara. Pada 2002, giliran Rakyat Merdeka membuat kehebohan berulang saat koran itu menurunkan tajuk berjudul “Mulut Mega Bau Solar”.
Judul itu diterbitkan sebagai protes atas kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM di saat rakyat sedang susah. Saat itu, Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai Presiden RI.
Dan keberanian itu berujung dengan Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka, Supratman divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan dalam kasus pencemaran nama baik Presiden Megawati Sukarnoputri. Tapi Supratman tidak ditahan.
Pada masa orde baru menjelang reformasi, Pak MG melalui salah satu majalah D&R miliknya juga bikin gempar. Pasalnya, majalah itu memuat cover story tentang Pak Harto,
Bahkan pada cover depan, Pak Harto diilustrasikan dengan mengenakan aksesori “king” dalam kartu remi.
Cover itu sontak membuat heboh dan suatu keberanian luar biasa. Pasalnya, saat itu Pak Harto masih berkuasa. Tentu saja banyak pihak yang langsung kebakaran jenggot. Dan aksi nekat itu harus ditebus dengan ditutupnya majalah D&R. Tamatlah riwayat majalah yang anggota redaksinya kebanyakan eks Majalah Tempo itu.
Keberanian Pak MG dan Rakyat Merdeka menyampaikan suara rakyat memang sempat membuat mereka repot karena sering sekali dipolisikan. Banyak pihak yang tentunya tidak suka diusik kepentingannya.
Sampai-sampai Rakyat Merdeka dikenal sebagai satu-satunya media di dunia yang pernah memiliki 11 pemimpin redaksi. Ini karena media itu harus mengirim wartawan-wartawan hebat mereka bolak balik ke pengadilan meladeni berbagai tuntutan. Namun Pak MG sepertinya cuek saja.
Obrolan Terakhir
Rekam jejak Pak MG dalam jurnalistik di tanah air memang sangat panjang. Dia sudah jadi wartawan sejak zaman orde baru, tepatnya tahun 1980 an, dengan menjadi wartawan Jawa Pos di Surabaya.