Kalau pun minyak goreng curah tetap sulit, lama-lama rakyat terbiasa. Lalu akan kembali memilih minyak goreng dalam kemasan. Meski harganya lebih mahal. Kalau perlu ciptakan kemasan kecil –agar seolah harganya murah.
Kita sudah mulai paham taktik pemerintah seperti itu. Mulai hafal. Toh tidak sampai terjadi gejolak yang di luar kendali.
Kurang lebih begitu juga yang sudah terjadi di pompa-pompa bensin. Bensin yang mahal tersedia melimpah. Bensin yang bersubsidi tetap ada, tapi lebih sulit didapat.
Rakyat mulai terbiasa. Kalau premium habis ambil bensin yang lebih mahal.
Maka saya pun melihat antrean truk yang panjang. Di pompa bensin. Di mana-mana. Di semua kota yang saya lewati pekan lalu. Mulai dari Lampung, Baturaja, Musi Rawas, Lubuk Linggau sampai Bengkulu. Mereka harus berjam-jam menunggu tangki pembawa solar tiba di stasiun pompa bensin.
Soal minyak goreng ini, awalnya Menteri Perdagangan M. Lutfi, punya kebijakan dua harga: Rp 14.000 untuk kemasan premium dan Rp 11.000 untuk kemasan sederhana dan curah. Pabrik minyak goreng mendapat subsidi Rp 3000/liter. Dananya dari iuran kelapa sawit. Sampai Rp 3,7 triliun selama 6 bulan pertama.
Lalu Mendag berubah: kemasan apa pun harganya dibuat sama, Rp 14.000. Pabrik minyak goreng tetap di subsidi Rp 3.000/liter tapi volumenya naik dua kali lipat. Yang premium pun disubsidi. Jumlah subsidinya mencapai Rp 7 triliun.
Bagi konsumen ini lebih bagus. Tapi bagi pabrik minyak goreng bertambah ruwet. Terutama pabrik minyak goreng yang tidak punya kebun sawit. Mereka harus mengurus jatah DMO dan DPO (Domestic Market Obligation dan Domestik Price Obligation). Berarti harus mengurus jatah itu sampai Kementerian Perdagangan.
Akibatnya fatal: produksi minyak goreng terganggu. Harga minyak goreng memang menjadi lebih murah. Tapi barangnya mulai hilang dari pasaran.
Maka aturan itu diubah lagi. Seperti yang berlaku sekarang ini: tidak ada harga eceran tertinggi. Harga minyak goreng kemasan premium dan sederhana dilepas. Silakan ikut saja dengan harga pasar. Hanya harga minyak goreng curah yang ditetapkan paling tinggi Rp 14.000/liter.
Akhirnya minyak goreng seperti didorong untuk menerima harga pasar bebas. Tanpa takut disalahkan sebagai penganut ekonomi liberal. Buktinya ada harga yang curah yang disubsidi.
Kelak tentu akan muncul atau dimunculkan citra negatif minyak curah. Misalnya: diragukan lagi keasliannya. Atau: sudah dicampuri cairan lain.
Mau tidak mau konsumen balik ke minyak goreng kemasan –meski harganya mahal. Lama-lama terbiasa.