Oleh: Dahlan Iskan
Jumat, 25 Maret 2022
PEMERINTAH sekarang ini luar biasa kuatnya. Padahal didera heboh minyak goreng begitu serunya. Berminggu-minggu. Berbulan. Belum juga ada tanda-tanda reda.
Kuat sekali.
Respons dari pemerintah masih begitu cool. Begitu tenang. Begitu percaya diri. Itu tecermin dari keterangan resmi Menko Perekonomian Airlangga Hartanto dua hari lalu. Anda sudah tahu. Sudah banyak dimuat di media: kenaikan harga minyak goreng belum akan mengganggu tingkat inflasi. \"Inflasi kita di Februari sangat rendah, bahkan terjadi deflasi,\" katanya.
Di situlah kuncinya. Yang terganggu baru ibu-ibu di dapur. Belum inflasi. Tentu pemerintah punya datanya –bahkan big data.
Maka pemerintah berani saja: menghapus ketentuan harga eceran tertinggi minyak goreng dalam kemasan. Toh belum akan mengganggu tekanan darah inflasi.
Dengan demikian harga minyak goreng dalam kemasan dibebaskan. Disilakan untuk membentuk harganya sendiri. Bebas. Sesuai dengan harga pasar. Kalau toh harganya melejit belum akan membahayakan statistik tingkat inflasi.
Pemerintah menetapkan alat pengendali inflasi: minyak goreng curah. Di sini pemerintah menetapkan harga tertinggi untuk minyak goreng curah.
Dengan demikian bagi yang tidak kuat membeli minyak goreng kemasan, silakan beli yang curah. Kalau perlu bawa jeriken sendiri dari rumah. Harganya Rp 14.000/liter.
Maka minyak goreng curah didengung-dengungkan sebagai jalan keluar untuk yang tidak mampu. Pemerintah sudah dianggap tidak salah: ibarat membangun jalan tol yang tarifnya mahal, toh masih ada jalan umum yang gratis.
Ketika mulai ada yang mengeluh: di mana minyak goreng curah bisa didapat, Menko Airlangga juga tahu cara menjawabnya. Itu bukan perkara yang serius. Itu, katanya, hanya persoalan distribusinya saja.
Itu soal distribusi. Bukan kebijakan.