Banjir Bandang, Tanggung Jawab Negara, dan Jalan Class Action bagi Warga
Mochammad Farisi, LL.M--
Oleh: Assist Prof. Mochammad Farisi, LL.M
Banjir bandang kembali menyapu wilayah-wilayah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Dalam hitungan jam, air bah berubah menjadi arus ganas yang membawa lumpur, batu besar, bahkan gelondongan kayu dari hulu hingga ke permukiman warga. Rumah-sawah hancur, jembatan terputus, dan warga terpaksa menyelamatkan diri dengan apa yang tersisa. Sebagian kehilangan harta, sebagian kehilangan mata pencaharian, dan yang paling pilu: sebagian kehilangan anggota keluarga.
BACA JUGA:Sebentar Lagi Desember Ayo Buruan Tukar Telkomsel Poin, Berikut Caranya
Peristiwa ini kembali menegaskan bahwa bencana alam di Indonesia bukan lagi semata persoalan cuaca ekstrem. Ia telah berubah menjadi bencana ekologis dan bencana tata kelola. Ketika air datang membawa kayu-kayu besar dari hutan yang telah gundul, publik wajar bertanya: darimana kayu-kayu itu berasal? Mengapa hulu sungai kehilangan daya tahannya? Mengapa banjir kini datang bukan hanya saat hujan panjang, melainkan cukup dengan hujan lebat dalam beberapa jam?
BACA JUGA:Sukses! Konser Bangso Batak Bikin Penonton Luar Kota Ramai ke Jambi
Duka yang Tak Boleh Sekadar Simpati
Atas nama kemanusiaan, kita patut menyampaikan rasa duka dan keprihatinan yang mendalam kepada seluruh korban dan keluarga yang terdampak. Mereka bukan hanya korban air dan tanah, tetapi korban dari kegagalan sistem dalam menjaga keseimbangan alam. Tidak ada kalimat yang benar-benar cukup untuk menghibur mereka yang kehilangan anak, orang tua, rumah, dan masa depan dalam satu kejadian.
BACA JUGA: BREAKING NEWS: Harga BBM Seluruh Indoneia Naik Mulai 1 Desember 2025, Berikut Daftar Harganya
Saat ini yang dibutuhkan adalah langkah cepat pemerintah dalam evakuasi, pendirian posko, layanan kesehatan, logistik, dan pemulihan akses jalan adalah keharusan mutlak. Negara tidak boleh lambat, apalagi ragu. Pada fase darurat, nyawa manusia adalah hukum tertinggi.
BACA JUGA:Edi Purwanto Nahkodai PDIP Jambi Periode 2025-2030, Hotman Sekretaris dan Ratu Munawaroh Bendahara
Namun setelah fase tanggap darurat, negara juga tidak boleh berhenti pada urusan bantuan semata. Investigasi yang transparan, terbuka, dan berbasis data harus segera dilakukan: tentang kondisi hulu sungai, tutupan hutan, izin tambang, izin perkebunan, hingga praktik pembalakan liar. Tanpa keberanian membongkar akar masalah, banjir bandang hanya akan menjadi siklus tragedi tahunan.
Dalam negara hukum, rasa duka dan tanggap darurat saja tidak cukup. Belasungkawa harus diikuti dengan tanggung jawab. Bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi juga tanggung jawab hukum dan kelembagaan.
BACA JUGA:Saat Jaringan Terputus, Akses Komunikasi Darurat PTPN IV Jadi Penyangga Harapan Warga Langsa
Ini Becana Ekologi, bukan Bencana Alam
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:



