'Menjaga Hak Privasi: Tanggung Jawab Negara dalam Perlindungan Data Pribadi'
H. Abu Bakar, SH, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Jambi--
Oleh : Abu Bakar
DI TENGAH pesatnya era digital, data pribadi menjadi aset paling rentan disalahgunakan. Setiap klik, unggahan, dan transaksi daring meninggalkan jejak yang dapat dengan mudah diakses, termasuk oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Di sinilah negara memiliki kewajiban konstitusional dan moral untuk melindungi hak warga negara atas privasi, sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang mendasar.
Hak atas privasi telah diakui sebagai bagian dari HAM oleh berbagai instrumen internasional, seperti Universal Declaration of Human Rights (Pasal 12) dan International Covenant on Civil and Political Rights (Pasal 17). Indonesia, sebagai negara yang meratifikasi ICCPR, memiliki tanggung jawab untuk menjamin perlindungan hak tersebut. Konstitusi kita pun secara eksplisit menjamin hak perlindungan diri pribadi, termasuk informasi pribadi warga negara.
BACA JUGA:Libur Panjang Telah Tiba, Harga BBM Pertalite Baru Tidak Lagi Rp 10.000 Per Liter Sekarang Segini
BACA JUGA: Torehkan Sejarah di Real Madrid, Ini Daftar Trofi Ancelotti di Los Blancos
Perjalanan Indonesia dalam melindungi data pribadi memang panjang. Setelah sekian lama tanpa payung hukum khusus, akhirnya pada tanggal 17 Oktober 2022, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) disahkan. Namun UU PDP ini resmi diberlakukan pada tanggal 17 Oktober 2024, setelah masa transisi dua tahun sejak diundangkan. Kehadiran UU ini adalah tonggak penting dalam penegakan HAM di sektor digital. Namun, pengesahan dan pemberlakuan saja belum cukup. Implementasi, pengawasan, dan penegakan hukum masih jadi pekerjaan rumah yang besar.
BACA JUGA:Harga BBM di Sulsel Turun Rp 1.000 Per Liter, Ini Harga Baru Pertamax-Pertalite di SPBU 13 Mei 2025
UU PDP memang sudah memberi kerangka kerja yang cukup komprehensif-menetapkan hak subjek data, kewajiban pengendali data, serta ancaman sanksi pidana dan administratif bagi pelanggar. Tapi hingga kini, lembaga pengawas independen yang diamanatkan dalam Undang-Undang tersebut belum terbentuk. Tanpa lembaga pengawas, perlindungan hak warga masih bersifat administratif dan reaktif.
Negara tak boleh hanya menjadi wasit yang pasif. Negara harus menjadi pelindung aktif yang menjamin hak digital warganya tetap utuh. Perlindungan data pribadi bukan sekadar isu teknis, tetapi cerminan komitmen terhadap HAM. Bila negara lalai, maka hak warga akan terus terancam oleh komersialisasi dan eksploitasi data.
Sudah saatnya Indonesia membuktikan bahwa negara benar-benar hadir dan bertanggung jawab dalam menjamin hak privasi sebagai hak asasi yang fundamental. Implementasi UU PDP secara serius, pembentukan lembaga pengawas independen, serta peningkatan kesadaran publik adalah langkah konkret yang harus dipercepat. Perlindungan data pribadi bukan hanya urusan keamanan digital, melainkan juga ukuran sejauh mana negara kita menghargai dan melindungi hak asasi manusia.
Di sisi lain, isu perlindungan data pribadi ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk pelaku usaha, institusi pendidikan, serta sektor swasta lainnya. Dalam praktiknya, banyak perusahaan yang belum menjadikan perlindungan data pribadi sebagai prioritas utama. Padahal, data pengguna yang dikumpulkan dalam jumlah besar, jika tidak dikelola dengan aman, dapat menjadi ancaman serius terhadap hak-hak sipil dan kebebasan individu.
Kejadian kebocoran data yang marak belakangan ini memperlihatkan betapa lemahnya sistem keamanan data di Indonesia. Kasus-kasus seperti kebocoran data BPJS Kesehatan, eHAC, dan MyIndiHome menunjukkan bahwa ada kelalaian struktural dalam menjaga keamanan informasi masyarakat. Namun sayangnya, proses penanganan kasus ini seringkali tidak transparan dan tidak memberikan keadilan bagi korban. Masyarakat pun menjadi skeptis terhadap keseriusan pemerintah dan penyedia layanan dalam menjaga hak-hak digital mereka.
Selain itu, regulasi yang ada harus adaptif terhadap perkembangan teknologi. Konsep perlindungan data pribadi tidak bisa berhenti pada aspek administratif semata. Perlu pendekatan yang lebih dinamis, termasuk integrasi sistem keamanan siber yang kuat, audit teknologi secara berkala, dan penerapan prinsip-prinsip privasi secara menyeluruh sejak tahap perencanaan sistem (privacy by design). Negara juga harus aktif mendorong adopsi standar internasional dalam perlindungan data, seperti GDPR di Uni Eropa, sebagai benchmark implementasi terbaik.
Bersamaan dengan itu, pemahaman aparat penegak hukum tentang pentingnya data pribadi juga perlu ditingkatkan. Masih banyak penyidik atau jaksa yang belum melihat pelanggaran data sebagai bentuk pelanggaran HAM. Tanpa kesadaran ini, penegakan hukum menjadi lemah dan tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Oleh karena itu, pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum dan pembentukan unit khusus cyber-law enforcement menjadi kebutuhan yang mendesak.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:


