Agar Koperasi Jadi Soko Guru Petani Sawit

Agar Koperasi Jadi Soko Guru Petani Sawit

Wawan Dinawan--

Oleh Wawan Dinawan

JAMBIEKSPRES.CO.ID- Pada hari koperasi lalu, saya menuliskan fakta sejarah perkembangan koperasi yang menjadi tulang punggung pengembangan industri kelapa sawit; terutama pada petani. Saya juga menjelaskan tentang situasi aktual yang menunjukkan koperasi telah kehilangan kekuatannya pada kalangan petani. Pertanyaan yang muncul adalah “bagaimana agar koperasi kembali menjadi soko guru bagi petani kelapa sawit”?

Paling tidak, koperasi memiliki dua kekuatan besar yang mampu memberikan dampak kesejahteraan bagi anggotanya yakni petani kelapa sawit. Pada dasarnya, setiap kegiatan budidaya kelapa sawit memiliki satu tujuan yakni mengambil atau menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya sebagaimana tujuan ekonomi. Dua kekuatan inilah yang tidak disadari oleh petani sehingga mereka rela meninggalkan koperasi dibanding memperjuangkannya. Dua kekuatan ini pula yang disadari oleh oknum pengurus koperasi sehingga mereka memanfaatkannya untuk kepentingan sesaat. Akibatnya, hilanglah kedua kekuatan tersebut.

Kekuatan pertama adalah kekuatan untuk optimalisasi pendapatan. Struktur industri dan tataniaga kelapa sawit yang ada saat ini menjadikan koperasi bisa mendapatkan pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan petani yang tidak berlembaga atau tidak berkoperasi. Peraturan yang berlaku di Indonesia mensyaratkan koperasi untuk melakukan kemitraan bersama dengan perusahaan atau pabrik kelapa sawit. Sementara itu, harga kemitraan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan harga non-mitra. Oleh karenanya, koperasi bisa menjadi jembatan untuk pendapatan petani yang lebih baik dibandingkan dengan petani perseorangan.

Kekuatan kedua adalah kekuatan untuk menurunkan biaya secara signifikan. Kekuatan utama koperasi pada dasarnya adalah anggotanya. Semakin banyak anggota, semakin kuat koperasi tersebut. Semakin banyak anggota, potensi ekonominya juga semakin besar. Oleh karenanya, kekuatan angggota itu akan mendorong turunnya harga-harga input secara signifikan. 

Sebagai gambaran, jika seorang petani yang memiliki kebun seluas dua hektar akan membeli 1 ton pupuk, maka harga yang akan petani dapatkan adalah harga pupuk retail atau harga konsumen. Namun, jika sebuah koperasi yang memiliki seribu anggota atau dua ribu hektar, maka harga pupuk yang diterima koperasi adalah harga grosir. Semakin besar jumlah pembelian pupuk, semakin rendah harga pupuk per kilogram yang diterima koperasi. Harga yang diterima koperasi inilah yang kemudian diubah menjadi harga yang diterima petani.

Selisih harga yang diterima koperasi secara grosir dan petani secara ritel inilah yang bisa dimanfaatkan menjadi dua kebijakan yakni dibagikan sebagai SHU (dan pola ini yang biasanya dipakai) atau mengurangi harga pada pembelian bagi petani. Keduanya akan sama-sama mengurangi harga input pertanian. SHU yang dibagikan pada akhir buku adalah pengurang biaya tidak langsung, sementara pengurangan harga pada pembelian merupakan pengurang harga secara langsung.

Bertambahnya pendapatan dengan kemitraan dan berkurangnya biaya karena harga grosir adalah kunci peningkatan keuntungan yang signifikan.  (*)

 

Bersambung …

 

*) Penulis adalah Pemerhati Kelapa Sawit dan Pendiri Petani Sawit Pro

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: