>

“Lift Me Up”

“Lift Me Up”

ilustrasi--

Seradin hancur, benar kata orang, prioritaskan diri sebelum orang lain. Seradin hidup, jaga dirinya baik – baik, agar kalo Mamanya luka, Seradin bisa bela. Agar kalo dunia kejam, Seradin bisa berdiri beri Mamanya secuil tempat yang tersisa untuk beri rasa aman dan nyaman. Mama harus hidup yang panjang, yang bahagia, biar Seradin turut lega, kalo manusia yang beri ia setengah hidupnya itu bisa bangga punya Seradin.

Kemudian, Seradin kembali menatap uang recehan yang berserakan di kasurnya, “Sayang ya, tadi pas ke pom bensin aku nggak bawa kamu, padahal disana ada badut, lucu banget buat aku ketawa. Tapi aku nggak bisa ngasih apa – apa.” Badut Winnie the pooh dengan warna kuning mentereng itu akan Seradin ingat untuk selalu bawa uang receh dikantongnya, biar ia bisa beri walau sedikit, biar ia bisa jadi alasan orang lain bahagia, Seradin ini juga manusia, yang ingin hadirnya dijadikan antusias, bukan sekedar ada lalu berlalu begitu saja, dilupakan dengan begitu mudahnya.

Mata Seradin melayu, sebenarnya ia menyesal dengan tindakannya, ia ingin beberapa waktu lalu kembali berputar, beberap menit saja, agar Seradin tak tinggalkan bahagia yang susah – susah ia bangun dan dapatkan. Agar Seradin bisa berbenah diri alih – alih kabur meninggalkan semaunya dalam keadaan kacau balau. Mama sedih tidak ya? Lihat Seradin yang seperti ini, yang pergi diam – diam tanpa pamit. Mama sedih tidak ya? Lihat akhir Seradin yang begitu disayangkan oleh semua orang.

“Seradin itu sayang Mama, maafin Seradin ya, Ma.” Seradin pernah berjanji, tidak peduli sejahat apapun bumi padanya, ia masih akan jadi dirinya yang siap jadi perisai untuk Mama-nya. Tapi, Seradin ingkar, sebab luka yang didapat Mamanya paling besar tentang Seradin kini, yang pucat pasi berbaring diatas kasur sembari memaksa senyum perih, sakit sebab perlahan yang menunggu penghabisan.

Burning in a hopeless dream

Hold me when you go to sleep

Keep me safe

We need light, we need love

 

Tetes terakhirnya sampai. Seradin…semoga mimpi indah dalam tidur yang dipaksakan, peluknya semoga sampai biar tidak dingin sendiri disana, maaf ya terlambat menyadari teriakan tolong yang begitu jelas tapi terlalu buta untuk disadari. Seradin sampai titik batasnya, sampai ia hilang peka pada cahaya. Seradin tinggalkan semua cintanya.

“Mama hidup yang bahagia, Seradin pamit, senang rasanya bisa jadi anak Mama.” Mama pasti sedih sebab nanti temui Seradin dalam bentuk paling menyakitkan, mungkin darah dari pergelangan tangannya itu mengering di lantai, mungkin rona di wajahnya tak lagi sama, tapi Seradin juga tak mau terus – terusan simpan beban, hati dia ini lebam, buat ia pilih jalan paling pecundang, yang nggak akan pernah bisa ia banggakan.


Ari Hardianah Harahap--

Seradin menyesal, tapi ia kehabisan waktu, harusnya Seradin bertahan, lalu ia bisa apa sekarang. Seradin lupa soal kematian pasti menyakitkan, ia toreh luka pada dirinya, pada orang – orang di sekitarnya, Seradin paham kini kenapa waktu hidupnya berharga, sebab diakhiri sebagaimana sebelum semestinya, buat Seradin buat, hidup ini nggak melulu yang indah – indah, nggak melulu bisa ketawa. Hidup ini perlu luka, perlu lara, perlu duka, biar manusia bisa belajar, kalo namanya hidup ya harus seimbang, pahit nggak selalu pahit, manis nggak selalu manis.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: