Bagian 6: “Yang Begitu Tiba – Tiba”

Bagian 6: “Yang Begitu Tiba – Tiba”

ilustrasi--

“Putus asa bukan berarti harus tiada, dari ada banyaknya pilihan, gue menjadikan kematian ada di pilihan paling akhir buat kehidupan ini, dan gue berharap semua orang bakal berpikir gitu.” Arsena larut dalam perkataanya sendiri, genggamannya semakin erat pada tangan Juandra.

“Dan harusnya lo nggak boleh nangis ngumumin waktu dan tanggal kematian,” Juandra menyahut menatap tepat netra Arsena, “Kita bukan Tuhan, kita cuma menawarkan bantunan, harusnya kita nggak disalahkan kalo…” Juandra tak melanjutkan kalimatnya, ia diam membiarkan atmosfer yang terasa rumit membaur pada dirinya dan Arsena.

Arsena tersenyum kecil, “Lapang dada, Juandra. Kematian itu menyakitkan, dimaklumi ya perihal kehilangannya, dipahami sakitnya, kalo nggak semuanya bisa menarima seikhlas itu, secepat itu, bahkan kita bisa jadi manusia yang paling menolak tentang kenyataan. Iya kan?” Arsena mengusak kepala Juandra yang masih berbaring di kursi tunggu.

“Kita belajar buat jadi manusia bahagia, kita belajar buat hidup yang lebih baik dari hari ini. Tapi kenapa kita nggak pernah diajari buat nerima kehilangan, kenapa kita nggak diajari kalo kehilangan itu sakit.” Arsena tertawa pelan, menghapus air mata yang turun dari netra memerah milik pemuda berwajah songong itu, jika membantah professor saja ia tampak baik – baik saja seolah tidak terjadi apa – apa, kenapa perihal ini…cengengnya tidak tertahan.

“Gue benci suara Elektorikardiorgaf dan garis lurusnya. Arsena…gue kehilangan Kanaya.” Lirih Juandra terisak, “Arsena, gue nggak suka sakit karena kehilangan.” Juandra mengadu layaknya bocah berusia lima tahun yang tak sengah jatuh dari sepeda saat pertama kalinya ia naiki, seolah ia mengatakan luka pertamanya setelah dijaga sepenuh raga oleh orangtuanya ternyata sesakit itu.

Katakan Arsena gila, waktu yang terasa begitu lambat, peristiwa yang terjadi begitu saja, Arsena gila, sebab kali ini ia benamkan isak tangis itu dalam peluk hangat, tepukan yang semoga beri rasa nyaman, perlakuan yang semoga buat lukanya itu lebih ringan.


Ari Hardianah Harahap--

“Semoga lega ya Juandra,” Bisik Arsena, walau kata tak bisa mendefinisikan mereka kini. Arsena ingin bilang, lega yang puas, biar nanti kala Arsena harus lupa hari ini, tak ada lagi luka yang harus ia khawatirkan. (Bersambung)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: