Bagian 8: “Dumb and Dumber”
Ari Hardianah Harahap--
“Mbaknya tadi misuh, dia bilang dia lagi nunggu buat ninju bajingan yang udah ingkar, tapi karena dia udah keburu ngantuk jadi dia pesan gocar buat pergi duluan.” Jelas Mbak itu dengan raut wajah seolah menghakimi Sundra ‘Dasar cowo brengsek bisanya nyakitin cewe aja!’.
Sundra tersenyum canggung, “Saya duluan ya mbak, permisi.” Ujar Sundra yang dibalas perempuan tersebut dengan anggukan.
Sundra menancap gasnya menuju kosan Arisa, jika Arisa disana maka ini untuk pertama kalinya, ia menyambangi kediaman perempuan tersebut, tidak lagi memperhatikan lampu kamar perempuan tersebut yang sering kali masih menyala hingga setengah tiga pagi. Rasanya Sundra ingin selalu menelpon perempuan tersebut untuk mengingatkannya, “tidur, dunia ini masih berlanjut besok, jadi jangan terlalu memaksa diri.” dan selalu menjadi Sundra yang hanya bisa menatap kolom obrolan mereka tanpa kata satupun. Dan mala mini, Sundra menjadi manusia paling buruk, padahal sudah ia pulai dari lama rasa di hatinya, kini lelah itu terasa sia – sia, sebab sang empu yang ingin diberi enggan lagi menerima. Sundra – Sundra, kalo sudah begini cuma bisa turut berduka cita, semoga hatimu kuat hingga tamat.
***
Arisa duduk di tepi jendela kamar Sandra, alih – alih pulang ke kosanya ia malah memilih menginap di kamar Sandra. Pembicaraanya dengan Sandra berhenti setengah jam lalu, kini hanya ada dia dan sunyinya malas, serta ponselnya yang terus menyala. Jejak terakhit sebuah kolom obrolan dengan nuansa cinta yang hangat dan bahagia menjadi riwayat terakhirnya saat membuka ponselnya, yang sayangnya bukan bahagia malah memberi beban pikiran padanya.
Malam ini, Arisa diliputi kecewa, sebab seseorang yang telah berjanji kemudian meninggalkanya, tentu siapa lagi jika bukan Sundra. Hatinya resah, sebab seseorang yang biasa membersamainya kini terlihat bahagia dengan seseorang yang bukan dirinya disamping Sundra. Bukan ia yang menemani Sundra, dan Arisa tidak suka itu. Rasa marah memuncak di hatinya, bahkan rasa kecewanya tidak sebanyak rasa marah di hatinya. Padahal ia dan Sundra bukanlah dua orang yang harus tahu isi hati masing – masing. Namun, saat ini saja Arisa berharap Sundra akan datang seperti malam – malam biasanya, menatapi balkon kamarnya di bawah pohon rindang tak jauh dari kos dekatnya hingga jam – jam tertentu, disaat Arisa bisa mengagumi laki – laki itu tanpa batas juga alasan pertemanan.
“Jatuh cinta virtual itu sama aja jatuh cinta dengan ekspetasi diri lo sendiri. Gue percaya cinta sejati, tapi enggak dengan dua orang yang bilang saling cinta tapi belum pernah tau wujud masing – masing, typing bisa ditiru, tapi untuk prilaku dan hati, manusia cuma punya satu, selalu dan pasti,”
Perkataan Sandra terus berulang di otak Arisa, “Jangan buat, yang didepan mata lo sia-sian buat hubungan tanpa arah yang nantinya nggak ada guna.” Menusuk juga tepat. Arisa seolah ditatar habis – habisan oleh kekasih Sadap itu.
Arisa bukan perempuan manja, tangisnya terhitung sejak dirinya kecil. ia tidak pernah merasa sepi, sebab ia hanya butuh dirinya sendiri untuk berdiri dengan layak diantara manusia lainnya. Arisa itu mandiri, ia tidak pernah menuntut orang lain untuk ada terus di sisinya dan menatap bersamanya. Jika hanya seseorang itu berjanji, maka Arisa akan menatapi setiap kata yang ada, dan saat janji itu diingkari jangan tanya berapa banyak kecewa dalam dirinya. Sundra ingkar, dan Arisa tidak sebodoh itu untuk menunggu laki – laki tersebut datang padanya, ia masih memiliki dirinya sendiri yang bisa ia andalkan kapanpun dan dimanapun. Tapi, malam itu ia biarkan dirinya larut dalam sedihnya, kepalanya bertumpu diantara dua lututnya, dan kemudian isak mulai membersamainya.
Ternyata Arisa tidak setegar itu dan mengapa pula rumitnya cinta menjadi sungguh luar biasa, padahal sudah dewasa, harusnya mudah membuat kata itu menjadi ‘kita’ yang sayangnya realita selalu memberi nyata, tidak ada bahagia yang dapat digapai dengan mudah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: