Pengkhianatan Intelektual: Sebuah Catatan Kritis terhadap Fenomena Kaum Intelektual Dewasa ini

Pengkhianatan Intelektual: Sebuah Catatan Kritis terhadap Fenomena Kaum Intelektual Dewasa ini

Bukhari Muallim--

Oleh: Bukhari Muallim

Istilah pengkhianatan intelektual biasanya merujuk pada buku yang berjudul La Trahison des Clercs (1927), yang ditulis filsuf dan novelis Prancis, Julien Benda (18671956). Dalam edisi bahasa Indonesia, buku yang ditulis oleh seorang penulis esai dan kritikus budaya itu, diterjemahkan oleh Winarsih P. Arifin, dengan judul Pengkhianatan Kaum Cendekiawan. Tapi, dalam penggunaan sehari-hari lazim disebut pengkhianatan intelektual. 

 

Terkadang, sering juga dibedakan arti antara cendekiawan dan intelektual. Intelektual lebih bercirikan mereka yang berpendidikan tinggi secara formal, sedangkan cendekiawan tak mesti lulusan perguruan tinggi formal. Gus Dur dan Emha Ainun Nadjib, misalnya, tak menyelesaikan pendidikan tinggi formal, tapi mereka digolongkan sebagai cendekiawan terkemuka di Indonesia. Tak ada yang menyangkal kemampuan kedua tokoh itu dalam berbagai persoalan-persoalan keumatan dan kebangsaan. Bahkan, cendekiawan dianggap lebih tinggi “level”-nya ketimbang intelektual. 

 

Namun yang pasti, walaupun istilah itu terkadang sering dibedakan, terdapat kualitas yang mesti ada dalam diri seorang intelektual maupun cendekiawan: kapasitas keilmuan, tanggung jawab etis, dan standar moral yang tinggi sebagai agen perubahan yang berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan dalam kehidupan sosial. Untuk memudahkan penjelasan, dalam tulisan ini, perkenankan saya menggunakan istilah cendekiawan dan intelektual secara bergantian.

 

Kaum intelektual dewasa ini

 

Dalam komentar mengenai buku Julien Benda dituliskan: idealnya, menurut Benda, tugas cendekiawan utamanya bukanlah mengejar tujuan-tujuan praksis demi kepentingan pribadi, tapi orang yang mencari kegembiraan dalam mengolah seni, ilmu, atau renungan metafisik. Benda menyebut prinsip cendekiawan sejati: "Kerajaanku bukan di bumi". 

 

Kaum intelektual, dalam tulisan Benda, digambarkan sebagai orang yang selalu bergulat dengan wacana dan diskursus. Kaum cendekiawan diharapkan mampu memberikan pencerahan pada masyarakat, bukan justru mempersulit hidup masyarakat awam yang tak tercerahkan. Dosa besar seorang intelektual adalah ketika ia mengetahui kebenaran, tapi takut dan tak mau mengungkapkan kebenaran itu.

 

Tentang dosa kaum intelektual, saya teringat kata-kata Pramoedya Ananta Toer yang menyindir kaum intelektual masa Orde Baru. Kata Pram, “Waktu Orde Baru, tidak ada yang menghendaki perbaikan. Semua tiarap membenarkan Soeharto. Termasuk kaum intelektual dengan gelar berlapis-lapis juga membenarkan Harto. Ini mahasiswa menentang. Itukan sudah hebat itu. Itu saja, sudah hebat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: