Bagian 7: “Sandi Si Yang Paling Utama”
Ari Hardianah Harahap--
“Kita rumit ya, perkara meninggalkan dan ditinggalkan saja begitu sulit, dan kita lupa semakin lama kita habiskan waktu semakin kita terlitit”
-Sandi dan Asrama tak sempurnanya
>>>***<<<
Sandi tidak pernah buta terhadap sekitarnya, tak peduli bukan berarti ia tak mengamati, diam bukan berarti ia tak mendengar. Tentang ia yang katanya terus menjadi tokoh utama di setiap kehidupan orang, tentang ia yang terus menjadi si pusat perhatian, tentang ia dan segala pertemanan yang sangat menyenangkan, tanpa orang – orang tau, ia juga menyimpan luka yang begitu dalam. Tentang kecewanya yang selalu didiamkan oleh Bian, tentang pendapatnya yang sering diabaikan oleh Jinan, tentang Jingan yang mematahkan hati cinta pertamanya. Sandi dan dunianya begitu rapat, ia tertawa dengan senang, berbahagia seolah ia lah satu – satunya manusia tanpa masalah, kemudia menangis begitu kencang tanpa suara mematikan segala luka hatinya.
“Sandi,” Suara lembut itu kembali memanggilnya, suara yang begitu candu untuk didengarnya, gadis dengan rambut panjang dan pita yang melingkari kepalanya tampak begitu anggun. Kacamata yang seringkali bertengger di hidungnya membuatnya tampak manis dan juga begitu lugu, rasanya tuhan seolah tengah sangat berbahagia saat menciptakan makhluk seindah Andara Mayang. “Kenapa Yang?” Saut Sandi jahil, perempuan yang kerap disapa Dara tersebut tampak mencebik mendengar panggilan Sandi.
“Yang Yang Yang pala lo peyang” Kesal Dara memukul pundak Sandi, tidak begitu kuat, namun Sandi berlagak seolah Dara memukulnya dengan setengah jiwanya hingga Sandi merasa sangat kesakitan. “jangan sok akting lo samsudin!” Ujar Dara cepat melihat Sandi dengan Akting dramatisnya.
“Lo mah emang manusia nggak punya hati!” Kesal Dara, yang dibalas Sandi dengan ejekan kecil. “Li mih iming minisia nggik pinyi hiti” Tiru Sandi yang dibalas delikan sebal oleh Dara. Gemas dengan berbagai ekspresi Dara, Sandi mengacak rambut Dara, hingga sang empu tampak kesal, wajahnya memerah, entah memerah karena ia benar marah, atau karena ia malu dengan perlakuan Sandi.
“Salting lo ya?” Tanya Sandi Jahil, “sampe merah gitu muka lo! Ilih!” Sandi tertawa, tawa yang begitu lepas selain bersama teman – temannya yang sangat gila, dulu cinta pertamanya memberi luka. Ia berikan sebuah penawar tentang peluk, malah sang cinta pertama kembalikan dengan seribu umpatan dan kata tak kasat mata yang begitu menyayat hati. Kemudian Dara datang, tidak ada penawar yang ia tawarkan, ia biarkan luka itu menanga, kemudia Dara berikan peluk diantara perih yang ada, tangis yang begitu lega, hingga Sandi tahu hatinya ia labuhkan pada Andara Mayang, si wanita ajaib penyembuh lukanya.
“Jangan ngacak rambut gue!” Kesal Dara, yang dibalas Sandi dengan tatapan tanya sekaligus bingung, “Kenapa?”
“Karena yang diacak rambut gue, yang berantakan hati gue!” Kesal Dara, kesekian kalinya Sandi mendengar pernyataan rasa yang begitu terang – terangan, kesekian kalinya juga Sandi harus menelan pil pahit.
“Kalo gitu jangan gemes gemes juga!” Ujar Sandi, “Karena semakin lo gemes semakin susah buat nggak suka.” Balas Sandi, Dara tersenyum masam.
“Lo tahu, kemaren minggu gue ibadah, kamu boleh mencintainya tapi jangan ambil ia dari tuhannya, nggak bisa kita jatuh cinta yang kayak gitu?” Tanya Dara tersenyum skeptis.
Sandi tertawa kemudian menggeleng, “Kalo jatuh cinta sama gue, lo harus siap meninggalkan tuhan lo. Kalo gue nekat jantu cinta sama lo, gue yang harus meninggalkan tuhan gue. Dan nggak ada pernyataan tentang kita bisa meninggalkan tuhan kita.” Sandi remuk, definisi bahagia tanpa luka itu tidak benar adanya, sebab bahagia bukan berarti sempurna.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: