>

Epilog: “Tidak Akan Usai”

Epilog: “Tidak Akan Usai”

Ary--

Epilog: “Tidak Akan Usai”

“Kita terlarut dalam kepura – puraan yang begitu menyenangkan hingga kita lupa bahwa kenyataanya luka dan sakit itu tidak pernah meninggalkan”

>>>***<<<

Agana menatap malas perempuan yang kini tengah temermenung di depan leptopnya, perempuan yang mengatur tentang segala kehidupannya, “Sekarang gua tahu kenapa tulisan lo nggak laku – laku,” Ujar Agana yang dibalas delikan sebal oleh perempuan tersebut.


yamaha--

“Kenapa?” Walau tidak suka, perempuan tersebut tetap memberikan Agana kesempatan untuk berbicara, toh, dirinya memang harus terbuka dengan kritikan dan saran. Jika ia terus menetup kuping, kapan tulisannya akan maju.

“Cerita lo ini terlalu nggak jelas, draftnya berantaka, ntuh apaan ntuh, dari curi sepeda, Agana yang kesakitannya kebangetan, gue tahu lo pengen punya konflik yang complicated, tapi kalo nggak jelas kayak gini siapa juga yang mau baca ya bangsul!” Agana memprotes greget setelah membaca lembaran – lembaran cerita temannya, dan apa – apaan ini, Agana tidak habis pikir dengan teman perempuannya ini, memakai nama Agana dan seluruh sahabatnya dalam kisah yang terlalu menyedihkan, benar – benar penulis yang tidak berperiketokohan.

“Sebenarnyaaa….” Perempuan tersebut menghela nafas, menatap Agana dengan tatapan sedih, Agana yang ditatap memberikan pandangan bertanya, menaikkan sebelah alisnya, heran melihat perubahan ekspresi perempuan di hadapannya ini dengan begitu ekstrem.

“Lo tahu, rasanya nulis kali ini gue perlu istirahat, gue juga tahu kalo alur ceritanya nggak jelas banget, terlalu banyak draft yang buat gue bingung satu sama lain dari kelanjutan cerita ini. Belum lagi gue terlalu memaksa untuk semuanya biar bisa keliatan nyatu, dan akhirnya hancur kayak gini. Gue juga lagi nggak bisa fokus, pikiran gue terlalu rumit buat ngelanjutin cerita yang sama rumitnya. Gue Cuma perlu jeda sesaat Cuma buat revisi, tapi gue nggak bisa menemukan jeda itu, menurut lo gue haru gimana?” perempuan itu menenggelamkan wajahnya diantara lipatan tangannya, Agana mengerti, tidak semua yang perempuan itu ekspetasikan berjalan dengan semestinya, beberapa hal yang melenceng jauh dari perkiraanya, membuat tekanan yang tiada habisnya untuk sahabatnya itu.

“Kalo gitu istirahat, ambil jeda untuk lo mulai lagi dari awal cerita – cerita nggak jelas lo itu! Judulnya Remaja peristiwa kan? Kalo lo benar – benar buntu dengan rumitnya pikiran lo itu, ambil waktu sebanyak – banyaknya untuk lo menguraikan satu – satu benang kusut di otak lo itu. Yang gue tahu, cerita itu harus usai, dengan selayaknya dan sepantasnya, dengan pilihan yang paling baik! Gue pulang!” Setelahnya Agana meninggalkan tempatnya, meninggalkan perempuan dengan kepala yang katanya paling berisiki sejagat raya.

Agana melangkah pelan, sayup – sayup Agana dapat mendengar suara tawa yang menggelegar seolah tawa itu adalah tawa yang paling bahagia yang pernah ada, kemudian sesaat setelahnya Agana dapat mendengar lagi suara tangis pilu, terisak – isak dengan nada bicara yang tersendat – sendat, samar – samar Agana dapat mendengar ribuan sumpah serapah yang entah dilayangkan untuk siapa. Padahal, perempuan itu sendirian di dalam rumah.

Agana tersenyum tipis, perempuang yang sedikit lagi menjadi gila itu adalah sahabatnya atau yang Agana katakan pengatur hidupnya. Agana ingin bahagia, namun karena perempuan itu Agana harus sedikit, tidak sebenarnya Agana banyak tertekan, namun ia tak berkomentar karena tahu perempuan yang didalam rumah bersamanya tadi jauh lebih tertekan, coba bayangkan hal yang kau suka menjadi hal yang paling pertama membunuhmu. Rasa frustasi dan banyaknya luka di hati perempuan itu menjadi pemicu lain untuk membunuh jiwa perempuan itu perlahan.

Agana menarik nafasnya pelan, kemudian menghembuskannya perlahan – lahan. Ia lakukan itu berulang kali, namun tangisnya gagal bendung. Jika perempuan itu bisa seterluka itu, apalagi Agana, bahkan Agana belum menemukan usai dari semua lukanya. Berapa lama perempuan itu akan menahannya di waktu yang terhenti. Jika perempuan itu bisa menjadi gila, apalagi Agana. Agana terduduk di tanah yang ia injaki, meluruh dengan tangis pilunya kini.

Agana hanya perlu bertahan sedikit lagi saja, namun mengap rasa sedikit itu terasa begitu lama untuknya. Pertanyaan sampai kapannya juga tak kunjung ia temukan jawabannya, ia meningatnya sendirian, tanpa Bumi adiknya, tanpa Mama. Tanpa Rosa dan Rayhand dan tanpa Jaya. Agana harus bertahan, namun sampai kapan? Tubuh ringkihnya tidak sekuat itu untuk menahan segalanya. Berapa lama ia akan sanggup mensugesti dirinya baik – baik saja ditengah ia benar – benar ingin menjemput kematian untuk mengakhiri semua ini. Jika perempuan itu gila di semestanya, Agana gila di semestanya kini.

Agana benci untuk terus bertahan, tanpa siapapun, tanpa apapun

-END

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: