Jokowi Ungguli Sri Mulyani

Jokowi Ungguli Sri Mulyani

 JAKARTA - Sosok gubernur DKI Jakarta terpilih Joko Widodo (Jokowi), tampaknya, memiliki kesan yang mengakar di kalangan pembuat opini media dan pakar akademisi. Dalam survei yang melibatkan seratus pembuat opini dan pakar, sosok Jokowi menempati rating tertinggi sebagai sosok calon presiden muda potensial untuk Pemilu Presiden 2014.

 Dalam survei yang dilakukan oleh Pol-Tracking Institute itu, Jokowi mengungguli 35 tokoh muda lain dengan menempati rating tertinggi dengan angka akseptabilitas 78,6 persen. Dalam keterangannya, pihak yang dilibatkan dalam pengambilan survei, antara lain, pakar/akademisi, aktivis LSM, tokoh budaya/masyarakat, jurnalis, pengamat politik, mahasiswa, dan politisi senior.

 \"Survei meliputi 13 penilaian aspek. Sebanyak 35 tokoh dipilih berdasar pertimbangan pengalaman memimpin lembaga atau institusi politik, berpengaruh, dan memiliki popularitas melalui pemberitaan media,\" ujar Hanta Yuda, direktur eksekutif Pol-Tracking Institute, di Hotel Morrisey, Jakarta, kemarin (7/10).

 Sebanyak 13 aspek yang menjadi penilaian tokoh muda capres potensial adalah integritas, kapabilitas, visioner, skill, pengalaman prestatif, keberanian memutuskan, komunikasi publik, komunikasi elite, aspiratif dan empati, kematangan emosi, penampilan fisik, penerimaan publik, dan penerimaan partai. Dalam survei itu, Jokowi memiliki akseptabilitas tertinggi di sepuluh aspek.

 Tokoh muda yang tidak kalah populer adalah Anies Baswedan. Rektor Universitas Paramadina itu berada di peringkat kedua dengan akseptabilitas 73,2 persen. Anies adalah salah satu di antara lima tokoh nonparpol yang mencuat sebagai sosok capres muda potensial. Selain Anies, sosok Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati (peringkat ketiga) adalah tokoh nonparpol yang menempati lima besar.

 Dari unsur parpol, Wakil Ketua DPR dari PDIP Pramono Anung juga menjadi capres muda potensial di peringkat keempat. Diikuti kemudian mantan politikus PKB Khofifah Indar Parawansa menempati peringkat kelima.

 Terkait posisi Jokowi, Hanta menilai hal itu bisa jadi disebabkan efek pilgub DKI. Para pakar dan pembuat opini publik, tampaknya, masih terpengaruh kemampuan dan sosok mantan wali kota Solo itu. \"Kalau dia (Jokowi) bisa membuktikan sedikit lebih baik, ada peluang. Sementara tokoh lain belum memiliki momentum,\" ujar alumnus UGM itu.

 Sementara itu, naiknya sosok Anies juga lebih banyak disebabkan kapasitas dan kualitas dirinya. Seperti halnya Jokowi, Anies memiliki akseptabilitas yang tinggi di mata publik dan politikus. Berbeda dengan banyak tokoh politik yang kebanyakan tidak memiliki akseptabilitas publik yang tinggi. \"Salah satu kekurangan Anies adalah belum memiliki pengalaman dalam memimpin sebuah lembaga pemerintahan,\" sebut Hanta.

 Di antara 35 tokoh muda yang disurvei, seluruh tokoh nonparpol menempati sepuluh besar. Midalnya, CEO Transcorp Chairul Tandjung, pengusaha Sandiaga Uno, dan Menteri Perdagangan Gita Wiryawan. Nama-nama tokoh politik yang masuk sepuluh besar adalah Budiman Sudjatmiko (PDIP) dan Anis Matta (Partai Keadilan Sejahtera).

 Ironisnya, nama-nama politikus muda yang memiliki jabatan strategis di partai ternyata tidak memiliki peringkat tinggi sebagai capres muda potensial. Sosok Ketua Fraksi PDIP Puan Maharani, Ketua DPP Hanura Akbar Faizal, Sekjen Partai Amanat Nasional Taufik Kurniawan, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani, dan Ketua Umum Partai Nasdem Patrice Rio Capella silih berganti menghuni peringkat lima besar terbawah. \"Ini membuktikan jabatan politik tidak berbanding lurus dengan popularitas publik,\" tandasnya.

 Di tempat yang sama, pakar psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk menilai, survei itu merupakan jawaban atas banyaknya survei capres berdasar nama-nama yang dimiliki dan diusung parpol. Menurut Hanta, ada kejenuhan publik karena parpol selalu mengukur elektabilitas berdasar calon yang dimiliki parpol. \"Itu senjata pemungkas parpol untuk menggiring opini publik,\" ujar Hamdi.

 Penggiringan opini publik, menurut Hamdi, tidak menjadi masalah selama ada proses kaderisasi partai. Namun, selama ini apa yang terjadi di internal parpol kental dengan politik transaksional. \"Publik dipaksa untuk menerima apa yang diberikan parpol. Kebuntuan itu yang harus didobrak,\" katanya.

 Hamdi menilai, pesta pilgub DKI telah menjadi contoh betapa hati nurani publik telah mengalahkan oligarki parpol dan politik uang. Yang menjadi masalah, apakah hasil survei tersebut akan ditindaklanjuti oleh parpol dengan mengusung calon alternatif. \"Ada tokoh partai yang excellent. Namun, selama ini yang diangkat memiliki masalah,\" tandasnya.

(bay/c4/agm)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: