Kombes Dedy Yakin Benar
Dari pihak kepolisian, Ketua tim penyidik kasus Novel Baswedan, Kombes Dedy Iriyanto mengaku tak gentar dengan dukungan publik untuk Novel. Ia bersikukuh apa yang dilakukannya sudah benar. \"Ini pidana biasa, kami mau profesional kok tidak boleh,\" kata Dedy saat dihubungi Jawa Pos kemarin (07/10).
Dedy mengaku sedang berada di Bengkulu. \"Saya dan teman-teman ini orang Bengkulu, kami balik sebentar bukan berarti kasus ini dilimpahkan ke orang lain,\" katanya. Tim penyidik kasus ini berjumlah tujuh orang.
Menurut Dedy, pihaknya siap dengan segala resiko yang akan dihadapi saat mengusut kasus Novel nanti. \"Kita terus melanjutkan. Nanti juga akan ke Jakarta lagi, ini konsolidasi sebentar,\" kata perwira menengah kelahiran Slawi, Jawa Tengah ini.
Dedy juga mengaku tak gentar dengan desakan LSM dan koalisi masyarakat pendukung KPK yang meminta kasus ini dihentikan. \"Ini kasus pidana murni penganiayaan yang mengakibatkan pembunuhan. Bahkan, kalau tidak ada laporan sekalipun tanggung jawab saya untuk mengusutnya,\"katanya.
Dia juga mempersilahkan pihak-pihak yang mengusut rekam jejaknya sejak awal berkarir di kepolisian. \"Silahkan saja, saya tidak pernah menembak orang,\" kata Dedy.
Secara terpisah, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) Haris Azhar mengaku mendapatkan informasi masa lalu Dedy bermasalah. Dedy pernah dilaporkan saat menjabat sebagai Kasatserse Polresta Jogjakarta tahun 2002. Saat itu Dedy masih berpangkat Kompol. \"Ini belum benar-benar resmi, tapi jika informasi ini benar, maka harus adil lah. Kasus yang melibatkan Dedy juga harus dibongkar,\"jelas Haris pada Jawa Pos kemarin (7/10).
Haris menekankan, jika kasus tersebut terbukti, maka Dedy harus mundur dari penyidikan kasus Novel Baswedan. Saat ini Kontras masih memperdalam informasi terkait kasus Dedy itu. \"Akan segera kita tanyakan pada kawan-kawan kita di Jogja. Yang jelas, kalau kasus tersebut memang betul ada, maka dia tidak etis dan tidak tepat mengurus kasus di mana dia juga jadi bagian dari kasus yang sama. Dan kalau kasusnya terbukti, jelas dia tidak boleh menangani kasus Novel,\"tegasnya.
Kontras juga merilis data praktik pengabaian kasus dan kekerasan dari aparat polisi di sejumlah daerah di Indonesia periode Juli hingga September 2012. Haris memaparkan pihaknya banyak menerima pengaduan dari masyarakat, khususnya komunitas minoritas keagamaan, etnis, pedagang, petani, buruh, pekerja, mahasiwa, pengusaha, bahkan pengaduan individual. Mereka semua melaporkan adanya praktik pengabaian kasus dan kekerasan yang potensial menimbulkan pelanggaran HAM dari aparat polisi.
Haris menyebutkan, setidaknya 40 kasus menunjukkan kecenderungan adanya pengabaian kasus maupun ketidakmampuan polisi dalam mencegah dan mengusut kasus-kasus kekerasan yang terjadi. \"Hal-hal tersebut juga diikuti dengan beberapa model tindakan pelanggaran HAM yang kerap terjadi dari tahun ke tahun,\"jelasnya.
Kasus-kasus tersebut diantaranya menyangkut praktik kriminalisasi dan rekayasa kasus, seperti contoh kasus Tiaka Morowali (2011), penggusuran Pasar Raya Padang (2011), Jemaat Gereja Baptis Papua (2011), Kongres Rakyat Papua III (2011), Ustadz Tajul Muluk kelompok Syiah Sampang (2012), dan Serikat Pekerja Indonesia (2012).
Selain itu, juga terdapat sejumlah kasus kriminalisasi dan rekayasa kasus individual seperti kasus Koh Seng Seng (Jakarta, 2012), Aguswandi Tanjung (Jakarta, 2012), Enny Umbas (Sulut, 2012), Paulus Demon Kotan (NTT, 2012).
\"Kriminalisasi ini biasanya juga diikuti dengan penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, intimidasi penembakan hingga menimbulkan korban jiwa,\"paparnya.
(rdl/ken/nw)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: