Kasus Frans Bersaudara yang Bunuh Maling sampai Jadi Guyonan
Frans sendiri tampak tersenyum tipis ketika rombongan tamu dari Indonesia menghampiri. \"Terima kasih sekali. Ya, sehat... sehat,\" ujar Frans yang juga diamini sejumlah tahanan lain.
Di aula Penjara Kajang yang lumayan luas itu Frans dan kawan-kawan duduk berjajar di kursi. Wajahnya tampak bersih. Para tahanan vonis mati itu mengenakan baju tahanan dominasi putih dan merah. Memang itulah seragam khusus bagi yang bakal menjalani hukuman paling berat. Tahanan baru ditandai kerah putih. Biasanya mereka adalah tahanan yang menjalani hukuman relatif ringan.
Misalnya, tersandung dokumen keimigrasian seperti paspor atau permit bagi para pekerja. Kerah dan nomor tahanan warna hitam biasanya disematkan kepada para narapidana yang bolak-balik keluar masuk penjara alias residivis. Tahanan vonis mati pun dipisahkan dari tahanan lain.
Di hadapan tamu-tamu Indonesia yang membesuknya, mereka bercerita seputar kasus yang menderanya. Frans dan saudaranya, misalnya. Kedua pemuda itu tidak habis pikir mengapa dijatuhi hukuman gantung sampai mati.
Padahal, waktu itu dia melakukan pembelaan terhadap upaya tindak kriminal. \"Kini kami hanya bisa pasrah sambil berharap pembelaan dari pemerintah,\" ujarnya sambil beberapa kali menundukkan wajah. Tampak sekali guratan kekecewaan di wajah warga keturunan Tionghoa itu.
Demikian pula sejumlah tahanan yang terbelit kasus dadah jenis ganja. Beberapa di antara mereka mengaku bahwa barang haram itu bukan miliknya. Barang itu titipan orang dan mereka tidak tahu bahwa itu adalah barang haram. \"Yang tabah dan sabar. Kita akan mendorong pemerintah untuk berjuang agar kalian mendapatkan pengampunan. Kami sudah minta, baik yang bersalah atau tidak, pemerintah harus melindungi rakyatnya. Nah, KBRI sudah menyiapkan lawyer,\" kata Ahmad Effendy Choirie, juru bicara anggota Komisi I DPR, didampingi Helmi Fauzi (PDIP), Guntur Suharto (Demokrat), dan M. Nadjib (PAN).
Frans dkk jelas berharap pernyataan itu bukan sebatas janji. Sebab, selama menjalani sidang di pengadilan Malaysia tahap pertama sebelum masuk Mahkamah Rayuan dan Mahkamah Persekutuan, praktis mereka berjuang sendiri. Termasuk urusan menyewa pengacara.
Padahal, biaya pengacara di negeri bekas jajahan Inggris itu cukup mahal. Satu kasus bisa mencapai 50 ribu ringgit atau Rp 150 juta.
Vonis mati terhadap Frans dan saudaranya tersebut memang mendapat sorotan di beberapa media massa Tanah Air. Termasuk media-media di Malaysia. Bahkan, beberapa warga Melayu Malaysia menjadikan kejadian itu sebagai bahan guyonan antarkawan.
\"Kalau ada pencuri atau perampok, jangan kamu pukul. Apalagi dibunuh. Nanti, kamu malah yang kena hukuman. Persilakan masuk saja, lalu kamu kasih makan ayam dan minum yang enak,\" gurau mereka.
Selepas berbincang hampir setengah jam, rombongan meninggalkan para WNI tersebut. \"Tolong, kami benar-benar diperhatikan, ya, Pak,\" ungkap Frans sambil melepas tangan saat bersalaman dengan para pembesuk.
Tidak hanya blusukan ke Penjara Kajang. Rombongan dari Indonesia juga membesuk tahanan ke Penjara Simpang Renggang, Johor Bahru. Lokasinya jauh sekali. Lebih dari 300 km dari Kuala Lumpur.
Butuh waktu sekitar empat jam menuju penjara tersebut. Di penjara inilah Marianto menjalani tahanan sejak 2007. Warga asal Kampung Sidomukti, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, itu juga divonis mati. Pemuda 37 tahun dengan tiga anak itu didakwa telah membunuh Firdaus bin Kamari, warga Kecamatan Palang, Tuban.
Pengamanan Penjara Simpang Renggang juga sangat ketat. Selain Marianto, di penjara ini terdapat 15 WNI yang divonis mati. Perinciannya, dua orang dengan kasus pembunuhan dan selebihnya kasus dadah. Mereka yang terjerat kasus dadah itu mayoritas dari Aceh.
Saat tahu ada penjenguk dari Indonesia, mereka juga tampak gembira. Tidak terkecuali Marianto. \"Saya sangat senang didatangi. Selama ini tak ada lah kunjungan dari kerajaan (pemerintah, Red) Indonesia,\" celetuk salah seorang dari warga Aceh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: