Kungfu Hustle ala Dahlan Iskan
Oleh Agus Tantomo
ASYIK juga mencermati ketegangan antara Menteri BUMN Dahlan Iskan dengan DPR RI belakangan ini. Seperti film Hollywood, berpindah dari satu ketegangan ke ketegangan lain, sampai- sampai kita lupa apa awal masalahnya.
Itulah, kadang-kadang saking asyiknya mengikuti ketegangan suatu drama, kita sampai lupa dari mana masalah bermula. Kalau Anda pernah menonton film Kungfu Hustle–nya Stephen Chow, Anda mungkin bisa menceritakan setiap adegan serunya, tapi, tahukah Anda apa awal masalah dalam cerita di film itu\" Bingung ‘kan\" Film itu berawal dari kelakuan preman jalanan yang potong rambut tapi tidak mau bayar.
Nah, untuk drama Dahlan Iskan dengan DPR, tahukah Anda apa awal masalahnya\" Yang muncul di permukaan adalah adanya laporan BPK tentang keuangan PLN pada zaman Dahlan Iskan menjabat sebagai direktur utama. Ada temuan inefisiensi di perusahaan setrum itu lebih dari Rp37 triliun (yang oleh Dahlan Iskan disebut malah seharusnya bisa lebih dari Rp100 triliun).
Laporan BPK ini kemudian disambar sejumlah anggota DPR, terutama dari Komisi VII. Dahlan Iskan dituduh telah melakukan inefisiensi, pemborosan, merugikan keuangan negara dan bahkan menyamakan tindakannya itu sebagai korupsi.
Dalam perkembangannya, drama berpindah ke babak lain: isu pemalakan oleh anggota DPR terhadap BUMN. Kemudian beredar SMS inisial nama-nama anggota DPR yang dituduh melakukan pemalakan. Dahlan kemudian dipanggil oleh Badan Kehormatan DPR. Dan seterusnya, dan seterusnya... entah di mana drama ini kelak akan berujung.
Saya ingin membahas tentang awal masalah tadi, tuduhan inefisiensi PLN zaman Dahlan Iskan dirut PLN.
Terlepas dari berapapun angka temuannya, pertanyaan mendasarnya adalah; benarkah telah terjadi inefisiensi\" Saya tidak pernah melihat, apalagi membaca laporan BPK itu. Tapi, setidaknya saya pernah membaca Undang Undang Kelistrikan yang disusun dan disahkan oleh DPR.
Kata kunci yang sering orang banyak lupakan dalam UU Kelistrikan tersebut adalah bahwa listrik itu infrastruktur. Sekali lagi infrastruktur, bukan komoditas. Artinya, ketika sesuatu itu dikategorikan infrastruktur, maka jelas itu akan menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk menyiapkan, mengadakan, membangun dan manjaganya.
Kata infrastruktur erat kaitannya dengan unsur pelayanan kepada masyarakat. Yang termasuk dalam golongan infrastruktur, di republik ini, antara lain adalah jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, kantor pemerintah, dan sejenisnya.
Ketika infrastruktur diadakan atau dibangun, tidak akan pernah ada pemerintah melakukan hitungan untung ruginya dari sisi finansial. Hitungannya, atau pertimbangannya, hanya soal pelayanan. Ketika itu berfungsi, dalam arti dapat melayani masyarakat, sukses sudah tugas pemerintah. Akan lebih bagus apabila infrastruktur yang dibangun menimbulkan efek positif pada perekonomian.
Pernahkah DPR melakukan tuduhan inefisiensi terhadap Departemen atau Dinas Pekerjaan Umum yang membangun infrastruktur jalan dan jembatan\" Padahal jelas jalan dan jembatan yang dibangun pemerintah itu tidak akan pernah kembali modal\" Tidak pernah. Karena mereka, dan kita semua, sadar bahwa semua itu dibangun untuk pelayanan kepada masyarakat. Bukan untuk cari untung.
Infrastruktur bukan komoditas. Sehingga tidak akan pernah ada tuduhan inefisiensi dari sisi finansial untuk pembangunan infrastruktur.
Begitu juga dengan listrik. Karena di Undang Undang sudah ditegaskan bahwa listrik adalah infrastruktur, seharusnya tidak pernah ada tuduhan inefisiensi. Selama yang dibangun itu ada dan benar-benar untuk melayani masyarakat, apalagi ditambah dengan efek positif ekonominya, PLN telah menjalankan tugasnya dengan benar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: