Kenapa Kurikulum Yang Dirubah?
Oleh: Amri Ikhsan
Hari-hari ini pemerintah (baca-Kemdikbud) sedang punya “gawe” yang besar: “mengubah kurikulum”. Jargon yang ditonjolkan adalah “kita akan memiliki kurikulum baru”. Menurut pemerintah, kurikulum yang berlaku saat ini harus dirubah dengan alasan: (1) ingin mengangkat budaya asli bangsa: budi pekerti, sopan santun dan menekankan pada pendidikan karakter (Kompas, 30/9/2012); (2) dianggap kurang cocok dengan zamannya (Kompas, 5/9); (3) Anak sekarang termasuk anak generasi Z (generation net). Mereka kebanyakan sudah terbiasa berkomunikasi menggunakan internet, Facebook, Twitter, Blackberry.
Kemudian menurut Kemdikbud, (4) Anak-anak ini butuh model pendekatan dan model belajar yang berbeda. Kalau tidak, mereka akan bosan; (5) siswa dituntut lebih punya keterampilan menganalisis secara kritis, memilih secara bijak, serta mengambil keputusan bagi hidupnya; (6) karena guru bukan lagi satu- satunya sumber belajar dan pengetahuan, sikap anak terhadap guru pun berubah; (7) Pendidikan kita masih terlalu menekankan segi kognitif; (8) untuk menyelaraskan arah dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang mengamanatkan kurikulum pendidikan harus ditinjau ulang untuk penataan sekaligus penyempurnaannya; (9) untuk menjawab desakan dari masyarakat yang meminta kurikulum pendidikan harus dievaluasi; (10) pendidikan Indonesia sudah sangat membosankan. Indikator sederhananya, anak-anak gembira jika gurunya tidak datang. Itu karena pola pendidikan kita masih memberatkan anak (diolah dari berbagai sumber)
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan kurikulum, indikasinya: (1) hampir semua anak Indonesia bisa bersekolah; (2) “semua kursi” mahasiswa untuk PTN penuh, PTS dan diploma “menjamur”; (3) kalau ada yang belum bersekolah atau kuliah, itu bisa jadi karena faktor ekonomi, keluarga bukan karena “bodoh”; (4) kelulusan UN “nyaris” 100 % (Kompas); (5) yang bekerja di pemerintahan atau swasta bisa dipastikan hasil dari kurikulum kita; (6) kalau ada yang belum bekerja, itu dikarenakan belum ada lapangan pekerjaan bukan karena “bodoh”; (7) kalau ada “alumni” yang punya sifat “yang kurang baik”, bisa jadi disebabkan faktor lingkungan, dsb.
Setiap pergantian kurikulum, pemerintah “waktu itu” selalu berargumen, ini dilakukan untuk membuat pendidikan Indonesia lebih berkualitas, lebih baik dengan memaparkan kelemahan-kelemahan kurikulum yang berlaku pada saat itu.
Tetapi, pada kenyataannya pada hari hari ini kita masih “menyaksikan”: tawuran, bullying, geng motor, korupsi, kenakalan remaja, mengagung nilai kognitif, free sex dikalangan remaja, anak punk, dll. Ini adalah sebagian hasil “produk” pendidikan kita.
Pokoknya, kalau ada “sebuah masalah” dalam pendidikan kita, maka pemerintah “langsung” memilih “menyalahkan” kurikulum dari pada “membina” pihak yang menyampaikan konten kurikulum (baca-pendidik) itu pada siswa.
Kurikulum itu ibarat “sebuah pesan” dari seseorang (baca-pemerintah) yang mesti disampaikan kepada siswa melalui guru. Pemerintah “menugaskan” guru untuk menyampaikan “pesan penting” ini kepada siswa dengan menggunakan pendekatan, strategi, metode, tehnik, taktik tertentu. Ternyata pesan itu (baca-kurikulum) tidak sampai seutuhnya kepada siswa. Dalam hal ini siswa tidak bisa menangkap pesan yang sampaikan oleh “tuan guru”. Jadi, apa/siapa yang salah? Kurikulum, guru atau siswa?
Jadi, apapun pesan (baca-kurikulum), kalau “tukang” menyampaikan tidak bisa mengkomunikasikan pesan-pesan kurikulum itu dengan baik, bisa dipastikan kurikulum itu tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan kepada peserta didik.
Kurikulum baru yang diberlakukan pada tahun pelajaran 2013/2014 dan yang akan disosialisasikan dan diuji publik sebelum Februari 2013 (Kompas) tidak akan berpengaruh jika guru tidak menjadi “perhatian utama” dalam implementasi kurikulum itu di lapangan. Ada 7 (tujuh) ayat yang mengindikasikan tidak efektifnya implementasi kurikulum: (1) guru tidak bekali dengan keahlian untuk menerjemahkan dan menginterpretasikan konten kurikulum secara komprehensif; (2) guru tidak punya keahlian untuk mengkomunikasikan konten kurikulum kepada siswa, guru perlu bagaimana membelajarkan siswa bukan teori mengajar; (3) guru tidak diberi kepercayaan penuh untuk mengevaluasi hasil proses pembelajaran secara utuh; (4) guru tidak diberi kewenangan untuk menentukan sarana dan prasarana yang diperlukan secara mandiri; (5) ada ada reward dan punishment bukan berdasar pendekatan “emosional” tetapi berdasar pendekatan kinerja; (6) pelatihan guru berbasis buttom-up bukan top-down; (7) pelatihan guru dimulai dari “kota”, sehingga sekolah/madrasah di pinggiran tidak dapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan itu.
Sebenarnya pemerintah mengakui bahwa pendidikan yang bermutu itu perlu standar yang mestinya dipenuhi. Kalau tidak, bisa dipastikan output pendidikan kita masih jauh dari harapan. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yaitu kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan lingkup terdiri 8 standar, yaitu: (1) isi; (2) proses; (3) kompetensi lulusan; (4) pendidik dan tenaga kependidikan; (5) sarana dan prasarana; (6) pengelolaan; (7) pembiayaan; dan (8) penilaian pendidikan. Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Kenyataanya, standar-standar itu “hanya” menunjukan para pejabat pengelola pendidikan “punya” ide yang brillian tetapi “sangat susah” untuk dipenuhi. Kalau kenyataanya, standar-standar itu belum terpenuhi, kenapa kurikulum yang mesti dirubah? Lengkapi dulu standar itu, baru dievaluasi dan “dak apa-apa” kurikulum dirubah.
Pemerintah memaparkan bahwa dalam kurikulum baru: siswa diajak observasi bukan hanya dalam kelas, mempelajari masing-masing mata pelajaran secara terpisah, pembelajaran berbasis tematik integratif, anak-anak juga tidak akan lagi kerepotan membawa buku yang banyak dalam tasnya, mengharuskan anak-anak untuk ikut aktif dalam pembelajaran, menyeimbangkan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan (hard skill) dengan kemampuan bersosialisasi (soft skill), pengajaran ilmu pengetahuan tidak hanya disampaikan secara teori, akan ada eksperimen-eksperimen kecil (Kompas).
Satu lagi bentuk teori brillian pemerintah. Disini pemerintah hanya “menambah” tugas guru dan semestinya dilanjutkan “bagaimana” melaksanakan tugas tugas itu. Bukan hanya “menyuruh”!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: