Demokrasi Normatif dan Empirik Versus Rationalitas
Oleh : H. Navarin Karim, M.Si
Dalam ilmu politik, dikenal dua macam pemahaman tentang demokrasi. Pemahaman secara normatif (procedural democracy) dan pemahaman secara empirik. (Gaffar, 2006 : 3).
Ungkapan normative biasanya diterjemahkan dalam konstitusi pada masing-masing Negara, misalnya dalam UUD 1945 bagi pemerintahan Republik Indonesia. “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR (Pasal 1 ayat 2). Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang (pasal 28). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (pasal 29 ayat 2). Kutipan pasal dan ayat-ayat UUD 1945 diatas merupakan defenisi normatif dari demokrasi.
Demokrasi normative dapat sejalan dengan demokrasi empiric, sebagaimana yang terjadi pada masa Orba, bagaimana Soeharto memanfaat kelemahan pasal 6 ayat ayat 2 UUD 1945 : yang substansinya bahwa Presiden dapat dipilih kembali tanpa pembatasan waktu. Inilah senjata ampuh Soeharto yang mengharamkan perubahan UUD 1945 dengan justifikasi bahwa UUD 1945 adalah peninggalan leluhur bangsa yang harus dihormati dan dihargai. Diplomasi konstitusional seperti ini pulalah yang digunakan oleh Sekda Propinsi Jambi yang mengatakan bahwa : Dana plesir dewan sebesar Rp. 21,4 M ada aturannya dan ini sah2 saja, ketika beliau ditanya wartawan tentang besarnya nilai anggaran dana belajar dan plesiran anggota DPRD Propinsi Jambi untuk anggaran tahun 2013.
Dalam kenyataannya adapula kasus demokrasi normative tidak diimplentasikan dalam konteks kehidupan politik sehari-hari dalam suatu Negara/daerah. Inilah yang disebut dengan demokrasi empirik.
Normatif versus Empirik.
Masih segar dalam ingatan kita ketika almarhum Gusdur mengeluarkan Dekrit tahun 2002 tanpa persetujuan DPR : yang isinya membubarkan parlemen . Ini jelas bertentangan dengan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, akibatnya Presiden mendapat mosi tidak percaya dan Gusdurpun harus meninggalkan istana Negara karena melanggar konstitusional.
Contoh lain adalah penyimpangan dalam penerapan UU nomor 43 tahun 1999, salah satu pasalnya menyebutkan bahwa pegawai yang dapat di-nonjobkan adalah apabila dia mempunyai kesalahan besar dan sebelum dinonjobkan harus mendapat peringatan tertulis sebanyak dua kali. Dalam kenyataannya pegawai tanpa jelas kesalahannya di nonjobkan karena tidak sesuai aliran politik/tidak sepaham atau tidak memberikan dukungan maksimal terhadap penguasa baru daerah yang terpilih dalam pemilukada.
Normative dan Empiric Versus Rationalitas.
Dari beberapa kasus demokrasi diatas, kasus terbaru yang menarik dan terjadi di propinsi Jambi adalah apa yang diungkapkan Sekda propinsi Jambi yang mengatakan bahwa dana plesiran DPRD Propinsi sebesar 21,4 milyar untuk anggaran tahun 2013 ada aturan dan sah-sah saja. Memang secara demokrasi normative (procedural normative) tidak dapat disalahkan, namun kalau mengacu kepada prinsip kebutuhan nyata (rationalitas) jelas ini mengada-ada. Berdasarkan kalkulasi penulis, anggaran plesiran sebesar Rp. 21,4 milyar tersebut cukup besar dengan dasar perhitungan kalau uang tersebut dibagi dengan jumlah anggota DPRD propinsi Jambi sebanyak 40 orang, maka masing-masing anggota DPRD dijatahkan Rp. 50 juta lebih. Tidakkah itu berlebihan? Paling tidak 60 % dari dana yang dijatahkan itu dapat digunakan anggota dewan untuk shooping, kalaupun ada yang tidak suka foya-foya, lumayan tokh untuk menambah tabungan mereka. Sebagai pejabat mestinya mulai mengacu kepada perilaku pejabat pusat yang lagi fenomenal (Jokowi) yang telah banyak memberikan contoh rasionalitas, salah satu contohnya adalah ketika akan dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta, beliau dapat merasionalkan anggaran 50%. Artinya beliau telah berfikir tidak merugikan Negara, bukan malah sebaliknya GDN (Gasak Duit Negara).
Ada lagi kasus yang menarik di salah satu DPRD di negara Republik Indonesia, dimana secara normative anggota DPRD dibolehkan untuk menggunakan tenaga ahli/tim pakar. Keanehan yang terjadi kenapa tim pakar baru di SK-kan 3 bulan jelang berakhirnya tahun anggaran. Apakah logic dan rational tim pakar dapat bekerja sama dengan DPRD hanya dalam waktu singkat tiga bulan? Ini artinya secara empiric tidak menyalahi normative, tetapi tidak rational. Tetapi bisa juga motifnya adalah agar tim pakar tidak berfungsi maksimal sehingga tidak mampu mempengaruhi keputusan legislative yang tidak rational.
Harapan
Para penyelenggara negara hendaklah memiliki hati nurani seperti ditunjukkan oleh Jokowi, janganlah memanfaatkan kelemahan konstitusional untuk melakukan penyimpangan empiris yang sangat bertentangan dengan prinsip rationalitas, dust merugikan Negara.
-----------------------------------------
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: