Kebijakan Pembangunan Ekonomi Dalam Sistem Demokrasi
Oleh Syamsul bahri, SE
Banyak pakar ekonomi mengatakan permasalahan pembangunan ekonomi dilihat dari indikator pertumbuhan riil di Indonesia belum berhasil dengan baik . Hal ini disebabkan belum terjadinya Akumulasi Modal dengan baik, termasuk semua investasi baru yang berwujud tanah (lahan), peralatan fisikal, dan sumber daya manusia. Disamping itu, juga pertumbuhan penduduk dan kemajuan Teknologi dan lain-lain.
Akumulasi modal yang belum berjalan dengan baik, karena akomulasi modal bisa berjalan dengan baik apabila terjadi, bagian dari pendapatan sekarang yang ditabung dan kemudian diinvestasikan memperbesar output masa datang. Kenyataannya, perputaran dan akomulasi modal tidak terjadi, karena pendapatan masyarakat hanya baru bersifat memenuhi kebutuhan hidup minimal.
Begitu juga Pertumbuhan Penduduk yang besar atau kenaikan jumlah angkatan kerja (labor force) yang besar secara tradisional dianggap sebagai faktor yang positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin banyak angkatan kerja berarti semakin banyak faktor produksi tenaga kerja, sedangkan semakin banyak penduduk akan meningkatkan potensi pasar domestik.
Sedangkan Teknologi, yang lebih cenderung berpola padat modal atau penghematan tenaga kerja, dan menghemat biaya produksi belum bisa diterapkan secara penuh. Karena Indonesia harus mengedepankan Pola Padat karya yang cenderung tidak hemat biaya, dalam rangka meningkat nilai kelayakan jual produksi.
Dari uraian tersebut diatas, pendapat pakar tersebut sesungguhnya adalah sebuah dampak sistem yang dianut di Indonesia yaitu, sistem Demokrasi langsung. Pemilihan Kepala Daerah yang melalui mekanisme Pemilihan langsung menyebabkan biaya mahal . Kesemuanya dikemas dengan biaya politik yang tentunya merupakan ”Investasi hitam”, karena kecenderungan untuk kalah lebih besar.
Kondisi ini melahirkan proses pembangunan tidak berjalan sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas. Namun proses pembangunan lebih diarahkan bagaimana agar pengembalian Investasi hitam atau Investasi spekulatif.
Begitu juga dengan Pemilihan anggota DPR/DPRD kondisi yang sama. Tentunya dengan kekuasaan yang cukup besar yang dimiliki oleh anggota legeslatif, dan bermain diwilayah anggaran, dengan memperjuangkan pembangunan berdasarkan kepentingan politik, bukan memperjuangkan pembangunan berdasarkan kebutuhan dan scala prioritas, untuk mendapatkan nilai-nilai ekonomi.
Kondisi ini yang merupakan dampak dari sebuah sistem demokrasi yang memberi peluang dan kesempatan untuk bermain dalam Investasi hitam dan spekulatif, sehingga kemunculan pemimpin tidak berdasarkan ketokohan, melainkan kemunculan pemimpin dikarenakan transaksi financial.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: