KETERWAKILAN PEREMPUAN PADA PEMILU 2014
Perjuangan meunju terwujdunya keterwakilan perempuan dalam setiap perhelatan Pemilu terus digelindingkan. Sampai saat ini keberadaan perempuan dipanggung politik masih relatif sedikit jumlahnya dibanding kaum laki-laki. Artinya, target keterwakilan perempuan yang menduduki kursi legislatif baik di tingkat pusat maupun daearh belum mencapai persentase yang proporsional. Untuk itu, pemerintah terus mendorong ke arah tersebut melalui tindakan afirmatif (affirmative action) dengan menentukan kuota 30 persen perempuan pada Pemilu 2014.
Bila kita setback, sesungguhnya jaminan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan khususnya di bidang pemerintahan dan hukum telah ada sejak diundangkannya Undang-Undang Dasar 1945, tanggal 17 Agustus 1945, dalam pasal 27 ayat 1, yang lengkapnya berbunyi :“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Hanya saja gregetnya semakin nampak sejak perhelatan Pemilu pertama era reformasi tahun 1999.
Langkah real yang telah dilakukan Pemerintah guna mengakomodir prinsip kesetaraan jender adalah dengan keluarnya Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Instruskri tersebut merupakan indikator bahwa isu gender yang terus bergulir sejak berdirinya negara Indonesia. Sejatinya, hak politik perempuan dan laki-laki ditempatkan berada pada posisi yang sejajar. Namun dengan berbagai pertimbangan, kuota politik untuk perempuan disepakati sekurang-kurangnya 30 persen. Kendatipun, kuota 30 persen perempuan dalam politik masih menyisakan pro dan kontra sehingga terus menjadi perdebatan. Dan, perjuangan menuju kuota ideal terus disuarakan para pemerhati gender.
Kepengurusan Parpol
Upaya merealisasikan affirmative action yakni ketentuan kuota 30 persen bagi perempuan untuk menduduki jabatan politik kembali diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD atau dikenal dengan UU Pemilu. Ketentuan terkait dengan 30 persen keterwakilan perempuan tidak hanya diatur dalam proses pencalonan tepapi juga diatur pada kompisis kepengurusan partai politik.
Pasal 15 huruf d, UU NO. 8 Tahun 2012 dinyatakan bahwa “surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Dengan demikian ada kewajiban bagi pengurus partai di tingkat pusat untuk menyertakan kuota 30 persen dan dalam DPP atau nama lainnya pimpinan pusat. Sementara, untuk kepengurusan partai politik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sungguh pun bukan suatu keharusan tapi tetap disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30 persen sebagai wujud dari komitmen partai politik untuk mengapresiasi perempuan dalam politik.
Keterwakilan dalam Pencalonan
Berbeda halnya dengan keterwakilan perempauan dalam kepenguruan partai politik, dalam proses pencalon pemenuhan 30% keterwakilan perempuan merupakan suatu keharusan. Dalam mendaftarkan bakal calon legislatif yang dijadwalkan pada 9 sampai dengan 15 April 2013, Parpol mempunyai kewajiban mendaftarkan sekurang-kurangnya 30% dari calon secara keseluruahan pada setiap tingkatan sebagaimana bunyi pasal 55, UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilunanggota DPR, DPD dan DPRD. Setiap tingkatan yang dimaksudkan disini adalah proses pencalegan DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota pada jadawal yang telah ditentukan oleh Peraturan KPU. Bahkan dalam penempatan nomor urut, UU Pemilu menetapkan kuota dengan metode zyper, yakni sekurang-kurangnya satu perempuan dalam tiga calon. Artinya, dalam setiap tiga bakal calon, perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2 atau 3 dan demikian seterusnya, bukan secara otomatis berada pada nomor urut 3, 6, 9 dan seterusnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: