Semiotika Tahun Ular dan Kurikulum 2013

Semiotika Tahun Ular dan Kurikulum 2013

Natal P. Sitanggang, M.Hum.

Tahun 2013 dalam perkalenderan budaya China masuk dalam shio Ular. Secara semiotik di satu sisi ada angka 13 yang di berbagai belahan dunia dianggap sebagai tanda keramat. Di sisi lain, ada tanda ular yang salah satu sifatnya dikenal dapat berganti kulit, tetapi dirinya tetaplah dirinya: ular. Ular sebenarnya bukan binatang yang jahat, tetapi dapat melakukan gerakan tak terduga jika merasa perlu atau merasa tidak nyaman lagi. Penerawangan ini memang jauh dari rumus-rumus yang bersifat sains. Akan tetapi, dalam kepercayaan yang bersifat literalistik kuno itu, tahun ini diramalkan menjadi tahun panas, (mungkin karena tahun politik di Indonesia), dan serba takterduga. Banyak orang yang berkelit dan berbelit-belit untuk mencari pembenaran dirinya. Entah itu karena perkawinan dua simbol mitos angka dan binatang melata itu, penulis tidak ingin memaksa pembaca untuk menariknya sebagai sains atau mengamininya sebagai sebuah kebenaran. Sembari mengajak pembaca untuk berpikir tidak serius, di tahun ini penulis juga ingin berapologi “nakal” terhadap kurikulum 2013 dan penafian mata pelajaran bahasa dan sastra di sekolah.

Setelah wacana kurikulum 2013 berhasil menggalaukan pelajaran bahasa dan sastra, yang dengan tidak rasional berencana memasukkan bahasa kepada pelajaran pengetahuan alam (dalam Kompas Desember 2012), kini nasib pelajaran itu semakin dipergalaukan dengan ketidakjelasannya di sekolah (Kompas, Rabu, 13 Februari 2013, hlm. 12). Penulis penasaran untuk menunggu dan mencari alasan atas segala rencana itu, tetapi hingga tulisan ini dibuat, penulis tidak menemukan jawaban. Sejak masuk sekolah dasar hingga bergerilya di dunia bahasa selama kurang lebih tujuh belas tahun, penulis pun belum menemukan alasan yang ilmiah untuk mengabaikan bahasa dari dunia pendidikan. Sebaliknya, justru terakui bahwa bahasa merupakan titik tersentral untuk mendapatkan sebuah pengertian (understanding), penalaran atas sesuatu apa pun itu, termasuk pernalaran untuk memiliki akhlah dan moral yang mulia. Alih-alih dengan mempelajari mata pelajaran lain dengan menggunakan bahasa Indonesia, tentu tidak otomatis bahwa pemelajar bahasa Indonesia akan menemukan suatau pengertian terhadap bahasa itu.

Perancang kurikulum agaknya lupa bahwa setiap unsur bahasa berpotensi untuk dimaknai secara ganda (ambiguitas). Pemahaman akan keambiguitasan itu membutuhkan suatu kedewasaan. Adalah hal mustahil apabila dianggap bahasa bisa otomatis dipahami oleh anak sekolah sekalipun di tingkat SMA, bahkan oleh warga perguruan tinggi. Perancang kurikulum pasti tidak mengetahui bahwa teori Charles Darwin yang beredar di Indonesia proyek keambiguan understanding akibat ketidakcermatan dalam berbahasa. Teori yang menyatakan bahwa manusia berasal dari monyet , kera, dan lain-lain, pada dasarnya tidak pernah dikeluarkan oleh Darwin. Yang dia katakan adalah manusia sebelum menjadi manusia modern pernah berada pada garis biologi yang disebut sebagai sejenis primata. Primata ini tidak bersinonim dengan monyet atau apa pun yang sekarang dapat mirip dengan manusia. Perngertian yang bisa diambil dari kata ‘primata’ dalam konsep Darwin adalah bahwa manusia pernah menjadi makhluk yang sangat ‘primitif’ sebagaimana keprimitifan itu masih ada hingga saat ini sebagaimana saudara kita di pedalaman  Mentawai, Jambi, Kalimantan, atau Papua.

Terkait dengan kegalauan seperti yang melanda kurikulum negeri tercinta ini, Jurgen Habermas (1980) dalam teori kritisnya terhadap ideologi kapitalisme Barat, membuat rekonstruksi praduga terhadap akibat dari ideologi itu. Sejumlah ketakutan yang dalam pencermatannya terhadap aristokrasi yang menurutnya sangat mengerikan, seiring waktu banyak menjadi kenyataan. Hal itu juga sejalan dengan analisis Durkheim perihal akan terjadinya situasi anomi hilangnya moralitas kolektif sudah menjadi tontonan sehari-hari. Inilah yang sekarang melanda Indonesia. Pelandaan ini jelas terkait dengan kurikulum pendidikan. Inilah adalah proyek kurikulum masa lalu yang salah satunya memutilasi Pancasila dan sejumlah pelajaran kedaerahan di Nusantara. Ini sudah mulai dari kelahiran kurikulum CBSA, KBK, dan KTSP. Sesungguhnya, empat kurikulum ini tidak ada hal yang berbeda. Cuma ganti “kulit”. Tak ubahnya juga perubahan dari kata departemen menjadi kementerian hanya ganti diksi, atau dari SMA menjadi SMU yang hanya ganti huruf, tetapi tidak ada yang esensial menuju sebuah perubahan yang baik. Mungkinkah penggantian ini yang dimaknai pembuat kurikulum sebagai Change? Ingat, change yang dimaksudkan oleh sejumlah pakar seperti Rhenald Kasali (2005) atau Presiden Amerika Serikat, Barak Obama, tidaklah sedangkal perubahan huruf atau pergantian baju.

Pembuat kurikulum 2013 sepertinya belum mau jera akan hal ini. Hal ini tecermati dari tulisan L. Wilarjo (dalam Kompas, Jumat, 22 Februari 2013) yang menyebutkan “Kurikulum 2013 tidak menampung keingintahuan, pembentukan sikap kritis, kecuali menurut ... Soal bahasa menyedihkan sekali”. Hal ini menjadi kontradiksi pula dengan pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh, di hadapan Presiden di awal Februari 2013, perihal kurikulum 2013 yang sepertinya telah hebat akan memprogram siswa untuk memiliki kepribadian, wawasan , pernalaran yang baik, hanyalah isapan jempol semata. Mengikuti kerangka pikir Habermas tampaknya kurikulum 2013 justru menjadi konyol dan semakin mengerikan jika mencermati perlakuan mereka terhadap bahasa dan sastra. Dengan perlakuan itu, praduga berikutnya adalah simpulan analisis Durkheim perihal akan terjadinya situasi anomi hilangnya moralitas kolektif yang akan semakin membahana ke depan. akibat pengamputasian understanding yang dilakukan pembuat kurikulum melalui pengabaian bahasa.

Jika kegalauan yang diprediksikan Habermas adalah akibat dari kapitalisme Barat, bagi kita selain oleh kapitalisme Indonesia, juga oleh religiusitas yang semu. Alih-alih menganjurkan siswa untuk bermoral, jujur, cinta damai, lewat sains tanpa rasionalitas yang baik semuanya akan menjadi paradoks. Transformasi pengertian sains kepada sikap positif yang diperharapkan dari siswa adalah sebuah kenaifan. Kenaifan inilah yang menjadi kecurigaan kita terhadap akibat kurikulum itu.

Kontroversi materi bahasa dalam pembelajaran di sekolah memang sudah cukup lama, sejak mantan menteri Pendidikan Fuad Hassan di era Soeharto ketika menjadi Presiden Repulbik Indonesia. Ada sejumlah pengusul untuk meniadakan pengajaran unsur-unsur linguistik seperti fonem, morfem, klausa dan sebagainya. Alih-alih, pengusul berpendapat para siswa sudah  dapat dan menjadi penutur bahasa Indonesia. Dengan demikian, belajar bahasa di sekolah hanya sekadar membaca wacana, dan menentukan topik. Lalu, membuat karya tulis ilmiah sekalipun sebenarnya siswa belum pada fasenya. Akhirnya, ujian nasional (UN) selalu dijejali dengan soal bacaan, dan belenggu makna kesastraan. Hasil secara kuantitatif sangat ironis dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya. Secara kualitas, kita lihatlah maraknya tawuran mahasiswa dalam kampus, atau antarpemuda di sejumlah daerah akhir-akhir ini. Pasungan itulah sebenarnya yang membuat guru Bahasa Indonesia menjadi kehilangan pamor sehingga belajar dan pengajar bahasa Indonesia sangat tidak mengenakkan. Pasungan kurikulum selama ini telah memaksa untuk enggan mengajarkan keilmuan bahasa. Hal itu dianggap tidak perlu lagi, toh juga di UN tidak lagi disoalkan. Selanjutnya, sastra seperti yang sudah pernah santer adalah disajikan materi yang seharusnya belum pada umurnya. Misalnya, muatan cerpen dengan pilihan kata istri simpanan, celana yang terbuka, dan sebagainya. Tidak ada lagi mental kuat untuk mengkritisi peribahasa, pantun, dan sebagainya. Oleh karena itu, berbahasa tidak santun pun menjadi tak berasa risi. Tiada lagi kecurigaan bahwa mengapa ada peribahasa “keruh air di hilir, periksa di hulu; senak air di hulu periksa di hilir”. Oleh karenanya, main terabas dalam tawuran pun seolah halal. Tiada lagi keinginan untuk mengintegrasikannya dengan perikehiduapan sekarang dan masa yang datang. Dalam UN pun disoalkan makna simbol yang terkandung dalam karya sastra dan dipasung dalam empat atau lima opsi. Pasungan itu sebenarnya sekaligus menjadi pasungan untuk tidak tertantang. Bagaiamana mungkin menghubungkan simbol-simbol semiotika sastra tanpa memelajari kandungan dan rangkaian mata rantai  linguistiknya. Diseolah-olahkan pula opsi yang dalam alam kreativitas dan nalar siswa menjadi salah. Inikah hasil yang disebut sebagai (alumni) siswa yang mahir dalam berbahasa selama ini?

Jika sains (di antaranya kimia atau fisika) diharapkan mampu meneladankan sifatnya kepada siswa, sebagaimana dijelaskan Wilarjo dalam tulisannya itu, sesungguhnya sifat-sifat bahasa sebagai unsur yang lebih dekat dan lebih mudah dalam nalar siswa justru lebih sederhana untuk berparadigma dalam kehidupan sehari-hari. Jika atom terdiri dari sejumlah unsur dan struktur, demikian juga dengan bahasa terdiri dari unsur dan struktur yang paradigmatis dengan pluralisme dalam  kehidupan.

Kembali kepada muatan materi bahasa yang selama ini kontroversial, ada baiknya pelajaran bahasa diperlakukan sebagaimana ilmu lain tanpa harus berdebat pada kemanfaatan mempelajari kelinguistikannya. Mari kita renungkan sejenak paradigma dalam dikotomi antara talenta bermusik dan keahlian bermusik.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa ada banyak orang yang mahir memainkan beberapa alat musik tanpa pernah ia menyadari apalagi mempelajari notasi nada dengan segala bendera, ketukan, stakkato, dan sebagainya. Atau seorang ustadz cilik yang dengan sangat memukau dalam dakwahnya padahal dia tidak pernah dia belajar teori komunikasi atau retorika yang diajarkan oleh Plato atau pakar komunikasi mana pun. Kemahiran inilah yang dikategorikan sebagai talenta. Namun, menjadi pemusik atau orator andal bukan tidak mustahil dapat diraih oleh banyak orang, sekalipun dia tidak mempunyai talenta untuk itu. Ada banyak orang yang berhasil sebagai pemusik atau orator melalui proses pembelajaran. Jelas dalam pembelajaran itu seseorang harus mulai dari metateori menuju suatu teori dan dalil hingga mendapat suatu kesadaran (awarness) kepada hal-hal yang ingin dia mahirkan. Ada banyak yang ahli musik atau orator, presenter, ataupun pembiaca publik dengan proses belajar yang bermula dari teori.  Kemahiran dengan teori inilah yang dikategorikan sebagai keahlian. Dalam kemahirannya, tak semata-mata diharuskan menjadi pemilik jiwa dan rasa yang halus. Akan tetapi, dalam menuju kesadaran, proses transformasi dari teori dengan sendirinya adrenalin seseorang akan terarahkan kepada kontemplasi dan sublimitas jiwa yang positif dan negatif secara bersinergi. Demikianlah  sebenarnya yang dapat terjadi dengan pembelajaran bahasa dengan segala unsur linguistiknya berserta integralnya kepada bidang lain dapat bertransformasi menuju kesadaran struktural hingga menjadi kesadaran akan pluralistik dan keluhuran moralnya. Kesadaran akan cinta lingkungan, sesama manusia, budaya, bangsa dan lain-lain tidak dapat ditempuh dengan cara-cara yang kasar, muluk-muluk, dan absurd. Akan tetapi, harus dengan cara yang hampir tidak kasatmata melalui penyadaran yang taktersadari hingga masuk ke alam bawah sadarnya.

Jika masih sulit untuk menemukan kurikulum yang hebat, sebaiknya temukan saja kurikulum yang mencerdaskan Habibi atau Bung Hatta; kurikulum yang mencerdaskan Jokowi atau Jusuf Kalla; kurikulum yang mencerdaskan Gusdur atau Andrea Hirata. Jangan kurikulum yang mencetak Gayus Tambunan, atau Nazaruddin; Jangan pula kurikulum Edi Tansil atau Angelina Sondakh. Maaf.

 

 
 

 

BIODATA

 

Nama             :  NatalP. Sitanggang, S.S.,M.Hum

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: