Pulau Berhala Tinggal Seloka

Pulau Berhala Tinggal Seloka

Oleh : Ilham Kurniawan Dartias

Keluarnya Putusan MK No. 32/PUU-X/2012 terkait Judicial Riview UU 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga yang pada intinya menolak Permohonan HBA dkk merupakan pil pahit kedua yang diterima oleh Jambi setelah sebelumnya kalah di MA. Sebaliknya Kepri menerima angin segar karena Judicial Riview yang diajukan oleh Bupati Lingga, Kepri di terima sebagian oleh MK melalui putusan No. 62/PUU-X/2012 yang merupakan kemenangan telak Kepri atas Jambi di MA dan MK. Pupus sudah harapan dan upaya-upaya hukum Jambi untuk merebut Pulau Berhala, karena putusan MK sudah final sesuai dengan ketentuan pasal 24C ayat (1) UUD 1945, pasal 29 ayat (1) UU 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman dan selanjutnya UU Nomor 8 Tahun 2011 Tentang  Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi pasal 10 ayat (1) menyatakan  yang dimaksud dengan putusannya bersifat final yakni Putusan MK langsung memiliki kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK dalam UU ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).

Tentunya pil pahit ini harus ditelan dan kedepannya Pemerintah Jambi harus lebih serius untuk mengelola dan mengatur wilayahnya agar jangan sampai tragedi Pulau Berhala terulang lagi.

Harus ke MK

Walaupun Putusan MK dalam kasus a quo telah keluar Pemerintah Jambi bukannya mengambil hikmah malah mencari-cari kesalahan dan mengumbar kelemahan serta ketidaksiapan Tim Pulau Berhala yang berjuang di MK. Malahan ada pernyataan yang mengatakan bahwa seandainya Jambi tidak mengajukan sengketa Pulau Berhala ke MK dengan harapan setidak-tidaknya Pulau Berhala masih berada dalam status quo, sehingga sebagian Pulau Berhala secara efektif masih berada dalam wilayah Jambi” .

Menurut penulis pernyataan tidak bercara di MK akan tetap mempertahankan status quo Pulau Berhala adalah suatu logika sesat dan tidaklah benar serta patur diluruskan. Untuk diketahui sengketa Pulau Berhala ini ada empat permohonan Judicial Riview yang masuk ke MK. Pertama  Perkara Nomor 32/PUU-X/2012 yang di ajukan HBA dkk tanggal 21 Maret 2012, kedua perkara Nomor 47/PUU-X/2012 yang diajukan oleh Alias Wello dan Idrus tanggal 23 Mei 2012, ketiga Perkara Nomor 48/PUU-X/2012 pada tanggal 23 Mei 2012 yang juga diajukan Alias Wello dan Idrus tanggal 23 Mei 2012 dan  keempat perkara Nomor 62/PUU-X/2012 yang di ajukan oleh Bupati Lingga dkk 20 Juni 2012. Artinya beracara atau tidaknya Jambi di MK, MK akan tetap memeriksa, mengadili dan memutus sengketa Pulau Berhala dan putusanya tetap final dan mengikat bagi semua pihak. Jadi pilihan tidak beracara di MK bukanlah pilihan yang logis, justru menandakan kita sudah mengibarkan bendera putih dan mau tidak mau beracara di MK pasti akan dihadapi.

Dari MA menuju MK

Dari beberapa perkembangan sengketa Pulau Berhala yang penulis ikuti tampak ketidaksiapan Jambi dalam melakukan upaya-upaya agar Pulau Berhala masuk Jambi. Hal ini terlihat dalam Judicial Riview yang diajukan minim alat bukti yang negeaskan bahwa Pulau Berhala masuk Jambi. Begitu juga Pemda tidak belajar dari Putusan MA Nomor 49 P/HUM/2011 Judicial Riview “Permendagri No. 44 Tahun 2011 tentang Wilayah Administrasi Pulau Berhala, tanggal 29 September 2011 yang diajukan oleh Gubenur Kepri dkk.

Bagimanapun juga Putusan MK dalam sengketa Pulau Berhala tidak bisa dilepaskan dari putusan MA Nomor 49 P/HUM/2011 karena pada pokoknya MK dalam putusanya lebih menguatkan Putusan MA dalam perkara a quo. Gubenur Kepri dalam Gugatannya mendalilkan bahwa Mendagri dalam mengeluarkan Permendagri 44 bertentangan dengan Peraturan diatasnya karena Mendagri langsung menetapkan lokasi Pulau Berhala sebagai wilayah Tanjabtim, padahal Mendagri hanya boleh menetukan batas wilayah suatu daerah dilapangan. Berdasarkan Permendagri Nomor 1 tahun 2006 Tentang Penegasan Batas Daerah Mendagri hanya berwenangan menentukan batas daerah bukan mentukan wilayah administratif suatu pulau. Keteledoran Mendagri ini yang dimamfaatkan oleh Kepri sehingga Permendagri 44 dibatalkan oleh MA.

Sejatinya jika kita elaborasi Peraturan Perundang-Undangan terkait dalam sengketa Pulau Berhala ini, menurut penulis ada sedikit kejanggalan dalam UU terkait. Begitu juga kejanggalan terkait kewenangan Mendagri dalam menentukan batas wilayah suatu daerah.  Pada Pasal 3 Permendagri 1 tahun 2006 mengatakan “Penegasan batas daerah berpedoman pada batas-batas daerah yang ditetapkan dalam UU Pembentukan Daerah”. Pada penjelasan Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2002 menyatakan “Kepulauan Berhala tidak termasuk wilayah Provinsi Kepri dan masuk wilayah Tanjung Jabung Timur Jambi”. Seharusnya penjelasan di pasal 3 ini harus diakomodir dalam UU 31 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga yang notabene masuk provinsi Kepri. Akan tetapi pasal 5 ayat (1) huruf c UU 31 Tahun 2003 hanya mengatakan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Bangka dan Selat Berhala tidak ada menyebut Pulau Berhala. Disini nampak jelas inkonsistensi pembuat UU dalam menentukan batas antara daerah Kepri dengan Jambi, malah memuat pasal yang menimbulkan multi tafsir sehingga berujung pada sengketa yang berlarut-larut.

Begitu juga keteledoran Mendagri yang langsung menentukan wilayah administrasi Pulau Berhala. Seharusnya Mendagri berpedoman pada Permendagri 1 tahun 2006 tentang Penegasan Batas Daerah, dengan menentukan batas wilayah suatu daerah bukannya menentukan posisi administratif suatu daerah atau pulau. Padahal Mendagri tidak ada kelapangan menentukan batas wilayah secara pasti antara Jambi dan Kepri yang notabene sama mendalilkan Pulau Berhala berada di wilayah masing-masing. Artinya proses tata batas wilayah antara Jambi dan Kepri tidak dilakukan Mendagri.

Jika seandainya penetapan wilayah administratif Pulau Berhala kondisinya dibalikan, dimana Pulau Berhala masuk wilayah Kepri dan kemudian Jambi mengajukan gugatan ke MA tentunya Permendagri ini juga akan dibatalkan oleh MA. Artinya kesalahan Mendagri ini sumber petaka bagi Jambi. Kelemahan ini yang dimamfaatkan oleh Kepri untuk mengajukan Judicial Review Permendagri 44 tahun 2011 yang dikabulkan oleh MA dan dijadikan salah satu senjata pamungkas menundukan Jambi di MK.

Seharusnya Jambi harus bergerak cepat, cermat dan teliti melihat Permendagri 44 tahun 2011 dan saat itu seharusnya mendesak Mendagri untuk menentukan batas-batas wilayah dilapangan agar menguatkan keberadaan Pulau Berhala dalam wilyah administrasi Jambi. Akan tetapi ini terlupakan sehingga berujung ke MA dengan menelan pil pahit. Walaupun dalam putusan  MA Nomor 49 P/HUM/2011 tidak ada secara tegas menyebutkan Pulau Berhala masuk Kepri akan tetapi dalam pertimbangan MA tergambar bahwa Kepri atau Pemda Lingga sudah melakukan aktifitas dan pembangunan di Pulau Berhala. Tergambar secara historis  dengan dokumen yang memadai Pulau Berhala masuk Kesultanan Lingga walaupun Jambi juga punya historis yang kuat tetapi minim bukti yuridis. 

Begitu juga superior Kepri kelihatan ketika kegiatan politik telah dilakukan di Pulau Berhala seperti pemungutan suara pada Pemilihan Umum 2009. Disamping itu bukti kegiatan administrasi yang di lakukan Pemkab Lingga dan pembangunan fasilitas umum serta petugas penjaga “Mercu Suar ” di Pulau Berhala adalah berasal dari Navigasi Tanjung Pinang Provinsi Kepulauan Riau. Meskipun Pemprov Jambi mencoba membantah semua dalil yang diajukan oleh Gubenur Kepri, tetapi MA dalam pertimbangannya mengatakan bahwa bahwa jawaban dari Termohon (Gubernur Jambi) tertanggal 4 Januari 2012  tidak memuat hal–hal yang dapat meruntuhkan atau melemahkan dalil-dalil permohonan keberatan Para Pemohon, sehingga tidak cukup beralasan hukum untuk mendukung atau membenarkan jawaban Termohon tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: