Masalah Pangan, Contohilah Jepang
Oleh Yanriko SP
SISTEM Ketahanan Pangan kita meski ada peningkatan, namun tetap kekurangan. Mulai masalah alih fungsi lahan, kelembagaan, rendahnya mutu pangan, rendahnya produktifitas, regulasi harga, rendahnya SDM petani, sulitnya permodalan, akses pupuk serta rendahnya minat generasi muda di sektor pertanian. Hal ini bila dibiarkan, akan menyebabkan kita seperti kata pepatah tikus mati dilumbung padi.
Ketahanan pangan adalah urusan wajib dan strategis. Karena Ketahanan pangan adalah kondisi dimana terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, mudah diperoleh, aman dikonsumsi dan harga terjangkau. Hal ini diwujudkan dengan bekerjanya sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi.
Namun jika perlu mencontoh, baiknya kita melihat Jepang. Sebenarnya Indonesia dan Jepang memiliki kemiripan. Dimana masih banyak petani lokal yang usahanya kecil dan tradisonal. Di Fukuoka misalnya, kota terbesar ketujuh di Jepang itu, ladang padi terselip diantara rumah dan candi. Bayang-bayang pencakar langit hanya berjarak 10 mil dari kawasan pertanian itu. Di sana, pertanian desa menyokong kebutuhan kota besar. Rantai distribusi diperpendek sehingga hasil panen pagi hari dinikmati warga kota sore hari. Dan bisa dipastikan, pangan yang tersedia segar, bebas pengawet dan residu pestisida.
Pemerintah Jepang memberikan subsidi pada produk yang dianggap punya potensi. Pemerintah disana mengharuskan supermarket menyediakan outlet khusus untuk pangan lokal yang diproduksi petani kecil, lengkap dengan photo dan data petani pemasoknya (produsen). Di sana, petani juga langsung memanajemen semua aktivitas mulai dari penentuan Harga (Bar Code), Labeling, dan Packaging. Hanya kasir saja yang dilakukan oleh pegawai supermarket. Para petani juga mendapatkan informasi langsung melalui SMS atau internet produk apa saja yang laku. Informasi tersebut bisa ditanya kapan saja, tergantung kebutuhan.
Masalah alih fungsi lahan, Jepang memberikan pajak sangat tinggi bagi masyarakat yang menjual tanah pertanian untuk kepentingan komersial. Sementara, jika memberikan tanah tersebut ke anak untuk pertanian hanya dipajaki sangat minim. Pemerintah Jepang juga memberikan bantuan bantuan untuk mengembangan usaha pertanian kecil.
Di Jepang, pemerintah di sana menetapkan harga jual produk impor lebih murah dari produk lokal. Namun pengimpor boleh saja menjual barangnya di bawah harga produk lokal, dengan syarat selisih harga harus disetor ke pemerintah. Sebagai ilustrasi, seandainya importir menjual beras impor 1.000/kg, sementara harga beras lokal 1.200/kg, maka importir harus menyetor ke pemerintah sebesar 200. Kebijakan ini sangat membantu petani, karena harga jual produknya dapat bersaing dengan produk impor.
Berkaca dengan hal diatas, kondisi alam dan iklim Indonesia tentu lebih baik dari Jepang. Hanya dengan kerja keras, disiplin dan kesungguhan, kita dapat mewujudkan Pertanian Jaya !!”
(Penulis adalah Praktisi dan Pengamat masalah Pangan. Tinggal di Bungo)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: