Catatan Pemilukada Merangin

Catatan Pemilukada Merangin

Oleh:

Mohd.Sayuti Hamsi

PERHELATAN Pemilukada Merangin 25 Maret 2013 lalu,  selain cerminan amanah UUD 1945 juga pengakuan negara terhadap penyertaan suara rakyat dalam memilih pemimpin daerahnya.  Dibalik itu, helat pemilukada Merangin masih tersimpan catatan pinggir . Partisipasi masyarakat belum sesuai harapan.

Hasil hitung cepat Badan Kesbangpolinmas Merangin, menunjukan bahwa dari 237.891 pemilih dalam DPT yang ditetapkan KPU Merangin sebelumnya, hanya 166.476 warga atau 69,97 persen saja yang menggunakan hak suaranya.  Artinya, terdapat 71.415 atau 30.02% masyarakat yang tidak memilih. Angka tersebut tergolong signifikan. Sebab jika seluruhnya ikut memilih masih mungkin mengubah hasil perolehan suara kandidat.

Jika dibandingkan Pemilukada 2008, dari 200.344 warga Merangin yang terdaftar di DPT, terdapat 44.445 warga atau 22,18 persen yang tak menggunakan hak pilihnya. Jika dibandingkan pemilukada 2008 dengan 2013 ini, ternyata masyarakat golput Merangin meningkat tajam sebanyak 62.23 persen yaitu dari angka 44.445 menjadi 71.415 pemilik suara yang memilih tidak memilih.

Ada apa dengan Golput?
Golongan putih atau golput adalah kelompok yang memilih untuk tidak memilih.  Atau pemilik suara yang tidak menyalurkan hak suaranya viaTPS. Persoalannya, kenapa tidak menggunakan haknya ? Padahal sebagai insan berdaulat sudah terbuka kesempatan berkiprah.

Untuk menjawab problem itu, Peter schoder (2003) dalam bukunya Strategi Politik, berkata tidak semua orang sukai politik. Artinya, politik itu domain persaingan tapi untuk kemashalatan bersama. Jika bersandar pada teori tersebut, banyak alasan untuk tak peduli politik meski tahu medan itu kebutuhan bersama. Kenapa ada golput? Boleh jadi jawabannya karena sebagai berikut.

Pertama, munculnya rasa apatisme masyarakat yang cenderung kecewa karena sistem dan pemerintahan dipandang tidak cakap membawa perubahan. Kedua, boleh jadi masih ada pemilih terganjal administrasi dan yang bersangkutan namanya tidak tercantum dalam DPT. Kasus demikian sebenarnya sudah jadi problem yang selalu mengemuka dari pemilu ke pemilu. Hanya saja penyelenggara tak belajar dari masa lalunya.

Ketiga, boleh jadi alasan ekonomi, yaitu mereka tidak bisa meninggalkan aktivitasnya mencari nafkah. Sehingga ia dihadapkan dua pilihan antara memilih yang belum jelas hasilnya atau terganggunya income keluarga.

Keempat, boleh jadi karena sifat individualis dan pragmatis dengan asumsi memilih tidak bermanfaat langsung bagi diri dan usahanya. Dan memilih diasumsikan hanya sekedar membantu orang kaya tambah kaya.

Kelima, boleh jadi berasal dari kelompok ekstrim yang fanatis terhadap keyakinan atau idealismenya. Biasanya, mereka ini cenderung berpendirian sepihak dengan menilai demokrasi sebagai bagian dari sistem sekularisme yang paradoks dengan keyakinannya.

Berkaca pada problem itu, perlu langkah ekstra ke depan. Artinya penyelenggara tidak cukup hanya terikat pada sosialisasi pemilu semata. Tapi perlu adanya kerjasama semua unsur seperti tokoh masyarakat, ulama, pendidik, dan lembaga untuk bersama bangun kesepahaman akan arti pentingnya kesadaran memilih.

Wallahu a’lam bissawaab
Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik, Staf Pengajar IAIN STS Jambi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: