Hukum dan Konspirasi Politik

Hukum dan Konspirasi Politik

Oleh : Fauzan Khairazi, SH, MH

Keberhasilan gerakan reformasi di Indonesia telah mempengaruhi perubahan substansial dalam seluruh aspek kehidupan bernegara. Pemerintah yang otoritarian berubah menjadi pemerintahan yang demokratis dan bersupremasi hukum. Prinsip demokrasi yang disebut dalam konstitusi tidak dengan sendirinya melahirkan sistem Pemerintahan yang demokratis. Semua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia menyebutkan dengan tegas bahwa demokrasi merupakan salah satu asas negaranya yang fundamental, tetapi dalam kenyataannya tidak semua konstitusi melahirkan sistem yang demokrasi. Bahkan konstitusi yang sama bisa melahirkan sistem politik yang berbeda (demokratis dan otoriter) pada waktu atau periode yang berbeda (Mahmud MD, 2003: 138)

Masuknya rumusan negara Indonesia adalah negara hukum mempertegaskan paham bahwa Indonesia adalah negara hukum, baik dalam penyelenggaraan negara maupun kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Jika kita telaah, sejak Indonesia  merdeka tahun 1945 para pendiri bangsa dan rakyat telah sepakat bahwa negara dibentuk berdasarkan hukum (rechstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat).

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pun menegaskan Indonesia sebagai negara demokrasi dan negara hukum. Dalam negara seperti itu, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan menurut Undang-Undang Dasar. Dilihat dari sisi filsafat hukum, sesungguhnya hukum merupakan garis pembatas kedaulatan rakyat dengan kekuasaan negara. Hukum muncul dari proses kesepakatan individu dalam masyarakat.Meskipun dokumen konstitusi telah diubah (formal amendment) atau bahkan diganti, konstitusi selalu terbuka untuk disempurnakan menuju ideal yang lain.

Perubahan terhadap peraturan hukum yang masih membuka celah intervensi politik terhadap hukum harus dilakukan agar terwujudnya negara hukum yang berprinsip demokrasi. Untuk menutup celah hukum terhadap politik yang dapat mengintervensi hukum adapun langkah-langkah yang dapat diambil adalah:

Hukum harus berperan sebagai panglima, sehingga penegakan hukum dapat diwujudkan tanpa memandang suku, ras, agama, atau golongan tertentu;

Hukum harus berperan sebagai titik tolak kegiatan (center of action). Yang berarti bahwa perbuatan hukum oleh penguasa atau individu harus dapat dikembalikan kepada hukum yang berlaku;

Perlakuan terhadap orang adalah sama dimuka hukum (equality before the law).

Ironisnya, di Indonesia paradigma hukum dan politik menjadi terbalik. Hukum di Indonesia bukanlah menjadi landasan yang menentukan dan mengarahkan kebijakan politik. Akan tetapi hukum merupakan instrumen bahkan tidak jarang menjadi produk (kebijakan) politik. Konstruksi dan format hukum dan politik seperti itu membawa implikasi pada inferioritas rakyat di satu sisi, dan superioritas negara di sisi lain. Atas nama hukum sudah sering terlihat tindakan penguasa yang memperlakukan rakyat tak berdaya.

Hukum di Indonesia tidak ditempatkan pada posisi sentral. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kita mengalami hubungan hukum dengan politik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas mengamanatkan susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 mengenai sistem Pemerintahan Negara dengan gamblang menentukan antara lain bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat) serta pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

Penyelewengan prinsip-prinsip hukum terjadi karena hukum masih memberi peluang yang besar terhadap politik untuk mencampuri urusan hukum hal ini dapat kita ketahui pada proses pemberhentian Presiden dan Kepala Daerah yang mana politik sebagai penentu keputusan akhir walaupun telah ada keputusan hukum. Disini sangat mencerminkan bahwa politik masih menjadi panglima dalam sistem ketatanegaraan pemerintahan Indonesia.. Law enforcement menjadi kehilangan ruang.

Sangatlah jelas bahwa untuk menciptakan Negara hukum yang berdemokrasi maka peraturan-peraturan hukum yang masih membuka celah intervensi politik harus dihilangkan. Sehingga akan membentuk suatu produk hukum yang responsif dan berwibawa sebagai contoh Pasal 29 ayat 4d Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 7B ayat 5 dan 7 Undang-Undang Dasar 1945  :

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 4d menjelaskan bahwa :

“Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kepada presiden”.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: