>

Hukum dan Konspirasi Politik

Hukum dan Konspirasi Politik

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 7B ayat 7 juga menjelaskan bahwa :

“Keputusan Majelis Perwakilan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya oleh 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberikan kesemapatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat”.

 Padahal disini kesalahannya telah terbukti dengan adanya putusan hukum dari lembaga peradilan. Tetapi putusan hukum tersebut masih bisa dipleterin atau tidak ditanggapi oleh lembaga politik sehingga hasil dari putusan hukum tersebut tidak berarti, justru menurut penulis hal inilah yang menghambat proses pembentukan negara hukum yang responsif dan berdemokrasi.

 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Republik Indonesiua Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 32 ayat (1) ”dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana dan melibatkan tanggung jawabnya, DPRD menggunakan hak angket untuk menanggapinya. Ayat (2) penggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapat persetujuan DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah”.  

Pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Republik Indonesiua Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 36 ayat (1) dan ayat (3) diyatakan bahwa :

Ayat (1) “tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden atas permintaan penyidik” dan pada Pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa “tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan tertulis dari presiden”.

Disini juga sangat jelas bahwa keputusan masih berada ditangan politik padahal kepala daerah telah menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas, menurut penulis harusnya proses hukum sudah bisa dilaksanakan tanpa harus melalui persetujuan anggota DPRD. Dengan masih harus mendapat persetujuan anggota DPRD, bisa saja terjadi konspirasi antara kepala daerah dan anggota DPRD sehingga proses hukum bisa tidak berjalan semestinya. Pada proses penyidikan dan penyelidikan terhadap kepala daerah juga harus mendapat izin dari pemerintah pusat (Presiden) hal ini juga termasuk hal yang menghambat proses membentuk Negara hukum.

Bagi bangsa penganut paham negara hukum (rechtsstaat), konstitusi harus ditempatkan sebagai hukum dasar (basic law), bahkan hukum tertinggi (supreme law), yang mengikat negara dan warga negara. Dengan kata lain, konstitusi menjadi pusat dan titik awal dalam legal order suatu negara. Jika undang-undang masih membuka peluang ikut campurnya politik terhadap urusan hukum niscaya bahwa penyimpangan-penyimpangan akan terus terjadi.

Dengan dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Negara hukum dan demokrasi akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri.

Penulis : Pimpinan Bawaslu

Prov. Jambi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: