Berkat Alat Pendeteksi Longsor yang Selamatkan Banyak Nyawa

Berkat Alat Pendeteksi Longsor yang Selamatkan Banyak Nyawa

Berkat alat pengintai longsor Gama EWS ciptaannya, Teuku Faisal Fathani PhD dinobatkan sebagai dosen berprestasi tingkat nasional 2013. Karya dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik UGM itu terbukti telah menyelamatkan banyak warga dalam berbagai kasus bencana alam.

 BAHANA, Jogja

 

 Teuku Faisal Fathani tidak bisa menyembunyikan perasaan bangganya dikukuhkan sebagai dosen berprestasi oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud. Maklum, untuk meraih prestasi itu, dia harus bersaing dengan ribuan dosen dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Pemilihan pendidik dan tenaga kependidikan perguruan tinggi berprestasi tingkat nasional itu dilaksanakan di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, 5\"8 Juli lalu.

 Sebagai pengajar, Faisal dinilai telah menyumbangkan ilmunya secara nyata kepada masyarakat luas. Bahkan, karyanya tidak hanya berguna di dalam negeri. Beberapa negara telah memanfaatkan alat pengintai longsor Gama EWS tersebut untuk mengantisipasi bencana secara dini.

 Gama EWS mampu menyelamatkan masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor setelah memberikan peringatan sebelum terjadinya bencana. Cara kerja alat itu sederhana. Yakni, mendeteksi jarak keretakan tanah untuk menentukan potensi terjadinya longsor. Bila dalam kondisi bahaya, alat akan mengirimkan sinyal, sehingga sirene berbunyi sebagai bentuk peringatan dini. Ketika sirene berbunyi, masyarakat harus waspada dan melakukan evakuasi. Suara sirene terdengar hingga radius 500 meter.

 \"Karena itu, untuk pengoperasian alat dan perawatannya, kami selalu melibatkan masyarakat,\" jelas Faisal kepada Jawa Pos Radar Jogja di Laboratorium Mekanika Tanah, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu (10/7).

 Faisal mendapat lima hak paten dari inovasi pengembangan alat tersebut sejak dibuat pada 2003. Bahkan, sejak 2007, lebih dari 100 unit alat pendeteksi dini longsor itu dipasang di 12 provinsi di Indonesia, bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), International Consortium on Landslides (ICL-UNESCO), pemerintah daerah, LSM, serta perusahaan pertambangan dan perminyakan.\"

 Di ruangan yang penuh sesak dengan karya-karya penelitian, Faisal menunjukkan alat karyanya, mulai generasi pertama hingga ketiga. Alat generasi pertama dibuat secara sederhana karena hasil deteksi pergeseran dan pergerakan tanah masih dicatat secara manual.

 Berbeda dengan alat generasi kedua dan ketiga, data yang muncul langsung direkam dalam memori dan dikirim secara online via internet. Kendati begitu, kerja alat generasi pertama, kedua, dan ketiga pada prinsipnya hampir sama.\"

 Prestasi Gama EWS generasi pertama mendapat pengakuan dari dalam maupun luar negeri karena berhasil \"menyelamatkan\" warga di wilayah bencana. Kala itu, sekitar November 2007, alat yang awalnya bernama ekstensometer tersebut menyelamatkan 30 warga di Banjarnegara, Jawa Tengah.

 Faisal menceritakan, di daerah rawan longsor tersebut, alat karyanya itu dipasang untuk memantau regangan tanah hingga maksimal 5 cm. Ketika hujan lebat turun dan retakan tanah melebar 5 cm, sirene secara otomatis berbunyi nyaring. Mendengar suara sirene tanda bahaya itu, warga cepat-cepat menyelamatkan diri sebelum longsor terjadi. Begitu warga meninggalkan rumah, tanah benar-benar longsor dan menimbun sebagian rumah mereka.

 \"Masyarakat merasa terselamatkan oleh alat tersebut. Karena itu, begitu alat ditemukan kembali dari timbunan tanah, mereka menyimpannya. Mereka menganggap alat tersebut telah menyelamatkan nyawa mereka,\" tuturnya.

 Penerapan sistem peringatan dini, terang Faisal, dilakukan selaras dengan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan bencana. Karena itu, sebelum alat tersebut dipasang di suatu lokasi, diperlukan kajian lintas sektoral yang melibatkan pakar pedesaan, geolog, dan psikolog.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: