Dimensi Sosial Puasa Yang Terabaikan

Dimensi Sosial Puasa Yang Terabaikan

Suaidi Asyari

Jika ditelisik lebih mendalam, maka sesungguhnya dalam melaksanakan berbagai ibadah dalam Islam, hampir tidak ada ibadah yang berdimensi ukhrawi, ilahiyyah dan spritual individual semata. Hampir selalu ada dimensi sosial secara aktif sebagai refleksi dari buah ibadah itu. Taqwa itu harus terlihat dalam kehidupan sosial secara aktif.

 

Namun, di sebagian besar kehidupan umat Islam, berbagai ibadah di atas seolah lebih banyak bersifat sebagai tradisi, kebiasaan tahunan warisan nenek moyang. Dimensi sosialnya dianggap persoalan tidak penting sebagai tujuan disyari’atkannya Islam bagi sebagian Muslim. Maka tidak heran kita sering melihat orang “berpakaian dan berucap taqwa” tetapi berprilaku sebaliknya.

 

Sebagai contoh, shalat yang sesungguhnya akan mampu menghindari seorang dari berbuat kemungkaran (Q 29:45) seperti korupsi, melanggar aturan yang sudah ditetapkan, manipulasi wewenang, pengkhianatan amanah, berkongsi dengan koruptor, dan lainnya. Diujung ayat itu Allah dengan jelas menyatakan “Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Artinya, Allah mengingatkan orang yang shalat bahwa dampak shalat mereka harus terlihat dalam prilaku di dunia ini. Bukan hanya sekedar bekas fisik yang terlihat pada jidat/tubuh seseorang.

 

Demikian juga halnya dengan puasa (Ramadan). Tujuan utama disyariatkan puasa secara duniawiyah adalah supaya setiap pelakunya taat aturan, yaitu mengerjakan setiap suruhan dan menghindari dari yang dilarang aturan. Islam menggunakan istilah taqwa. Menahan apa yang dilarang bagi orang yang berpuasa hanyalah sebagai sarana atau jembatan menuju ketaatan pada aturan lain dalam hidup di dunia ini. Puasa atau menahan diri semata bukanlah tujuan puasa. Makna puasa secara lughawi dijelaskan Al-Qur’an pada surah 98:26, yaitu menahan diri dari apa yang dipuasakan. Sejumlah hadist Nabi memperjelas apa saja yang ditahan untuk tidak dilakukan. Kebiasaan taat aturan sesungguhnya harus menjadi karakter selama 11 bulan kemudian bagi para shaimin.

 

Itulah sebabnya, hampir seluruh anjuran untuk dikerjakan dan ditinggalkan dalam puasa mempunyai dimensi sosial/duniawiyah, yaitu terkait dengan hubungan atau interaksi dengan anggota masyarakat lain. Dimensi yang terlihat seolah vertikal, ilahiyyah dan ukhrawi itu adalah prasarana terciptanya karakter duniawi seseorang. Hal ini terlihat adanya batas ruang dan waktu tertentu seseorang dianjurkan untuk mengerjakan sesuatu atau untuk meninggalkan sesuatu. Adanya batas ruang dan waktu itu adalah instrumen pengendalian diri yang secara bijaksana direkayasa Tuhan.

 

Sebagai contoh, waktu berbuka pada saat tertentu menjelang malam, shalat malam yang dianjurkan dan larangan hubungan suami isteri di siang hari. Batasan waktu ini adalah media untuk mengendalikan diri yang berkaitan dengan diri seseorang. Keberhasilan mengekang diri sendiri ini diharapkan kamu (la’allakum) mampu mengekang diri di ruang publik atau masyarakat luas dalam pengertian sosial.

 

Berkaitan dengan anjuran misalnya:

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: