Berpuasa ala Suku Asso di Perbukitan Angkasa Pura, Jayapura

Berpuasa ala Suku Asso di Perbukitan Angkasa Pura, Jayapura

Bakar Batu Daging Kambing untuk Ukhuwah Islamiyah

     Meski termasuk minoritas, masyarakat muslim suku Asso di Jayapura, Papua, tetap bersemangat dalam menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan ini. Mereka juga mempertahankan tradisi \"bakar batu\" untuk mempererat ukhuwah Islamiyah di suku asli Papua tersebut.

     SIDIK MAULANA TUALEKA, Jayapura

     Udara Jayapura siang itu (22/7) begitu terik dan membakar kulit. Meski demikian, kondisi itu tidak menyurutkan masyarakat muslim di sana untuk menjalankan aktivitasnya. Termasuk masyarakat suku Asso yang tinggal perbukitan Angkasa Pura, Wamena, Jayapura. Mereka tetap berkebun dan bertani seperti sediakala.

                Perbukitan tinggi Angkasa Pura memang disediakan khusus untuk komunitas muslim Wamena di Jayapura. Suku Asso berasal dari Walesi, salah satu daerah di Wamena yang terletak di sebelah selatan Jayapura.  Sejak masuk wilayah Jayapura pada 1983, populasi suku Asso tidak bertambah,  hanya sekitar 20 keluarga.

                Hadiman Asso, ustad sekaligus kepala suku Asso,  menceritakan bahwa suku Asso mulai memeluk Islam pada 1960 akhir,  saat masih berada di Walesi. Awalnya, hanya satu kepala keluarga, Marasugun Asso, yang menyatakan masuk Islam setelah belajar dari seorang saudagar asal Makassar yang berdagang di daerah puncak Wamena.

     Nah, pada 1977 terjadi perang besar-besaran antara TNI dan pemberontak Organiasi Papua Merdeka (OPM), salah satu organisasi separatis di Papua. Peristiwa itu dikenal dengan istilah \"Wamena Berdarah\". Saat itu TNI terdesak. Mereka lantas meminta bantuan dari masyarakat setempat untuk ikut melawan para pemberontak.

     Marasugun yang saat itu telah memeluk Islam memerintah sukunya untuk membantu TNI melawan OPM. Perjuangan bahu-membahu TNI-suku Asso itu pun membuahkan hasil. Para gerilyawan OPM dipukul mundur.

     \"Setelah peperangan itu, secara serempak masyarakat suku Asso menyatakan masuk Islam, mengikuti jejak Pak Haji (Marasugun, Red),\" kenang pria yang memilih kembali ke Papua setelah mendalami Islam di Jawa ini.

     Sesudah peristiwa Wamena Berdarah itu, pasukan TNI membawa Firdaus Asso, anak Marasugun sekaligus pemuda pertama dari suku Asso yang memeluk Islam, ke kota Jayapura pada awal 1980-an. Tujuannya, Firdaus bisa mendalami Islam secara intensif dan setelah kembali ke kampung halaman bisa mensyiarkan agamanya. Sayang, Firdaus tidak berumur panjang. Dia meninggal dunia tiga tahun kemudian setelah menderita penyakit liver. Nama Firdaus Asso kemudian diabadikan menjadi nama musala di Wamena.

     Meninggalnya Firdaus ditangisi masyarakat Walesi. Mereka kemudian mengirimkan Hadiman Asso untuk melanjutkan perjuangan Firdaus tersebut. Meski saat itu masih belia, Hadiman tidak gentar untuk merantau dan menempuh ilmu agama di ibu kota Papua.

     \"Karena saya melihat syariat Islam di suku kami belum kuat dan membutuhkan dakwah yang cukup intens,\" kenang anak pasangan Lapok Asso dan Lanihe Yelipele itu.

      Tentu saja, banyak hambatan dan tantangan yang dihadapi Hadiman dalam menjalankan tugas mulia itu. Menurut dia, berstatus sebagai pemeluk Islam di Papua memang tidak mudah. Apalagi kondisi ekonomi masih jauh dari sejahtera. Godaan datang silih berganti.

                Saat Jawa Pos mengunjugi komunitas muslim suku Asso di perbukitan Angkasa Pura memang terlihat kehidupan mereka masih sangat jauh dari sejahtera. Misalnya, rumah hunian mereka mayoritas masih berdinding kayu dan beratap seng bekas. Sudah tentu saat musim panas suhu dalam rumah bisa seperti dipanggang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: