>

Bertiga Urus Mulai Izin, Metode, Hingga Menjadi Guru Dadakan

Bertiga Urus Mulai Izin, Metode, Hingga Menjadi Guru Dadakan

Ada keresahan yang sama di semua keluarga WNI yang tinggal lama di luar negeri (diaspora). Yakni, generasi kedua sudah melupakan bahasa Indonesia. Bahkan, ada yang sampai tidak bisa berbahasa Indonesia sama sekali. Fenomena tersebut juga terjadi di kota kecil Al Khor, dekat ibukota Qatar, Doha.

 

       Selama bertahun-tahun masalah minimnya pengetahuan terhadap bahasa ibu tersebut hanya diatasi dengan pengajaran di rumah. Sebagian yang lain malah membiarkan. Namun, bagi tiga ibu rumah tangga yang lama menetap di Qatar, yakni  Farida Idawati, Ainal Saadan dan Raden Junaida Madya, kondisi yang tidak menguntungkan keturunan mereka itu harus diubah.

         Ketiganya ibu itu memang hijrah ke Qatar karena mengikuti sang suami. Untuk mengisi waktu luang, ketiganya bekerja sebagai asisten guru di Al Khor International School. Di sekolah itu pula, mereka menyekolahkan putra-putrinya.

      Selama menjadi asisten guru, mereka bertiga menyaksikan bahwa bahasa Indonesia anak-anak Indonesia di sekolah tersebut makin hilang. Padahal, jumlah anak Indonesia di sekolah tersebut terbanyak kedua setelah Arab. \" Kami yang kerja di sana sadar hal itu tidak bisa dibiarkan,\"jelas Farida Idawati, salah seorang asisten guru asal Makassar.

        Akhirnya, Farida beserta kedua rekannya, Ainal Saadan dan Raden Junaida Madya pun segera bertindak. Awal 2007, mereka memberanikan diri menemui Kepala Sekolah Al Khor International School. Mereka mengajukan agar bahasa Indonesia bisa masuk dalam kurikulum British Stream yang diberlakukan di sekolah tersebut. Ada dua alasan kuat yang mereka kemukakan pada pihak sekolah.

      \"Alasan pertama seorang anak kalau belajar bahasa lain tapi tidak melupakan bahasa ibunya, bahasa Indonesia, dia akan lebih cerdas. Alangkah sayangnya, bahasa lain bisa, tapi bahasa ibunya malah hilang,\"jelas Farida. Alasan kedua, lanjut Farida, anak-anak Indonesia yang belajar di sekolah tersebut termasuk golongan mayoritas.

       Namun, kedua alasan tersebut tampaknya belum cukup kuat untuk meluluhkan pihak sekolah. Mereka bertiga tidak menyerah. Ketiganya lantas menemui education manager yang posisinya lebih tinggi dari kepala sekolah. Namun, belum juga ada lampu hijau dari pihak sekolah. Mereka sadar kurikulum British Stream yang dianut sekolah tersebut memang cukup ketat. \"Ndak pernah ada dalam sejarah, bahasa Indonesia bisa masuk di kurikulum di sana,\"ujar Ainal, diiringi anggukan Farida dan Junaida.

       Meski belum ada persetujuan, ketiganya masih saja \"ngotot\" agar bahasa Indonesia bisa diadakan sebagai salah satu pelajaran di sekolah tersebut. Upaya mereka pun tidak sia-sia. Melihat kesungguhan ketiga asisten guru tersebut, pihak sekolah pun luluh. Namun, bukan berarti langsung setuju untuk memasukkan bahasa Indonesia dalam kurikulum sekolah. \"Mereka challenge (menantang) kita. Mereka bilang, ok kalau kamu merasa yakin bahwa bahasa Indonesia itu penting, kita coba,\"ujar Farida.

        Ketiganya pun langsung bergerak. Namun, mereka terlebih dahulu harus meyakinkan pihak orang tua murid. Dan lagi-lagi tidak mudah. Beruntung, suatu hari, pakar pendidikan Arief Rahman berkunjung ke sekolah tersebut. Mereka pun meminta Guru Besar Universitas Negeri Jakarta untuk membantu membujuk orang tua murid lewat sebuah seminar. \"Alhamdulillah setelah ada dorongan dari Pak Arief, orang tua murid akhirnya setuju,\"jelas Junaida.

       Tapi, persoalan belum usai. Mereka bertiga harus menentukan siapa yang bakal mengajar di kelas bahasa Indonesia tersebut. Karena kepepet, ketiganya pun mengambil alih sementara peran pengajar tersebut. \"Masuknya seperti muatan lokal. Karena waktu sudah mendesak, yang ngajar kami bertiga dulu,\"ujar Farida.

         Kelas bahasa Indonesia pertama tersebut ternyata memberikan hasil yang cukup memuaskan. Banyak guru yang mengakui bahwa anak-anak Indonesia yang mengikuti kelas bahasa Indonesia mampu berkomunikasi lebih lancar dibanding anak-anak yang lain. \"Guru-guru mengakui kalau anak-anak Indonesia, komunikasinya jadi lebih baik,\"kata Farida.

      Dari situ, lama kelamaan kelas bahasa Indonesia terus berkembang. Bahasa Indonesia pun diajarkan untuk kelas tiga hingga enam. Kemudian, berkembang lagi hingga kelas 10. Bahkan, tidak hanya anak Indonesia yang tertarik mengikuti pelajaran bahasa Indonesia. Anak-anak dari negara lain seperti Filipina, Inggris dan Malaysia juga mulai mengikuti kelas bahasa Indonesia. Akhirnya, bahasa Indonesia pun masuk dalam kurikulum British Stream yang terkenal ketat itu. Bahasa Indonesia pun diujikan dalam \"International General Certificate of Secondary Education (IGCSE), semacam Unas.

        \"Sekarang karena sudah berkembang dan berhasil menjadi kurikulum, kami sudah tidak mengajar lagi. Pengajaran sekarang sepenuhnya diberikan kepada guru yang memang bidangnya bahasa Indonesia. Namanya Pak Toni. Kami berharap, sekolah-sekolah lain di luar Al Khor International School juga bisa mengadakan pelajaran bahasa Indonesia,\"papar Farida.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: