>

Ikhwan Muslimin dan Tafsir Terorisme

Ikhwan Muslimin dan Tafsir Terorisme

Hermanto Harun*

 

Perbincangan tentang terorisme kembali menjadi isu utama pemberitaan dunia. Topik terorisme selalu menjadi jagalan laris, karena main topic-nya kejahatan terhadap kemanusiaan yang bermotifkan agama, walaupun secara defenitif, term terorisme tidak memilki defenisi baku yang disepakati oleh dunia internasional. Namun dalam paradigma publik, Islam seolah telah diperangkapkan dengan ideologi sesat itu, dan cenderung selalu tertuduh dalam setiap gerakan yang berlabelkan terorisme.

      

Kini, tema terorisme (al-irhab) kembali manggung di pentas opini Arab dan dunia, ketika junta militer Mesir yang dikomandoi Abd Fattah al-Sisi memberanguskan lawan politiknya yang melakukan demonstrasi damai di lapangan Rabea al-Adawea dan Nahdah di Kota Kairo. Demo damai (al-i”tisham) tersebut, bagi militer, telah disusupi dan ditunggangi oleh gerakan Islam Ikhwan al-Muslimin (IM) yang diasumsikan sebagai gerakan yang berideologi terorisme. Label terorisme itu dimunculkan ke permukaan, karena junta militer Mesir menjadikan terorisme sebagai alibi dalam rangka membunuh gerakan Ikhwan al-Muslimin sebagai lawan politik, sehingga seolah, istilah teroris menjadi justifikasi (tabrir) penghalalan kelakuan pembunuhan sadis tersebut.

        

Pengistilahan terorisme (al-irhab) selanjutnya dikemas apik yang dijual di ruang opini dunia, karena personifikasi teroris agaknya telah menyatu dengan sosok Usama bin Laden, seorang anak Adam yang pernah menjadi musuh nomor satu AS dan sekutunya. Juga, faham sesat ini dikesankan selalu bersama berbagai gerakan Islam garis keras, fundamentalis, ekstrimis dan lainnya. Dari itu, istilah terorisme memiliki daya magnetis tinggi di kalangan  islamphobia, sekulerisme dan liberal. Di sini, menurut Khaled Abou el-Fadl, terminologi terorisme menjadi label-label tertentu yang tidak hanya mendeskripsikan, tapi juga label-label itu juga menghakimi.

 

Stigma terorisme

 

Memahami terma terorisme sacara harfiyah tidaklah begitu sulit. Namun, menerjemahkannya secara kully (konprehensif) dengan konkteks kekinian terasa amat akut. Mengingat, terma terorisme sudah ter-sibghah (diwarnai) oleh pelbagai kepentingan, baik ideologi maupun politik. Sehingga, ketika harus menuding seseorang dengan teroris, terasa sulit untuk meyakini kebenaran relevansinya antara stigma dan pelakunya. Hal ini, karena terma terorisme telah memasuki wilayah klaim masing-masing dengan beragam tafsiran, selaras agenda yang berkepentingan. Disinilah tepatnya ungkapan Fahmi Huwaidi dalam bukunya al-Maqalat al-Mahzurah (kumpulan artikel terlarang) yang menjelaskan, bahwa dekade terakhir ini, perbuatan baik dituding sebagai sebuah kejahatan, putih menjadi hitam, dan mujahid dianggap teroris.

 

Namun, di tengah subyektifitas dan kerancuan makna terorisme, tidak lantas istilah ini terisolir dan luput dari pengertian akademiknya. Menurut Vidari, kata terorisme merupakan istilah asing yang digunakan untuk menyebut seseorang dan atau kelompok yang melakukan tindakan kekerasan dan teror di tengah-tengah masyarakat. (Republika, 23/6/2007). Jhon M Echols menyebut arti terorisme sebagai penggetaran atau perusuh atau tindakan kekerasan yang disertai dengan sadisme yang dimaksudkan untuk menakut­-nakuti lawan. Akan tetapi dalam kamus adikuasa, menurut Noam Avram Chomsky, terorisme adalah tindakan protes yang dilakukan oleh negara-negara atau kelompok­-kelompok kecil. Amir Thohiri dalam bukunya al-lrhab al-Muqaddas (terorisme suci) menulis, semua tindakan kekerasan yang diluar undang-undang perang--seperti yang telah disepakati oleh seluruh negara di dunia--dengan tujuan memberi rasa tidak aman demi tercapainya tujuan politik.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: