Ikhwan Muslimin dan Tafsir Terorisme
Pengertian di atas, merupakan persepsi personal ilmuwan dalam mendefinisikan makna terorisme. Pada level kenegaraan, Mesir misalnya, pernah diadakan forum dialog antara ketua Asosiasi Keamanan Nasional Arab dengan ketua Dewan Syura (MPR) Mesir pada tanggal 20 Maret 1993 yang mengangkat tema \"Menghadang Terorisme\". Dalam dialog ini menelurkan pengertian terorisme, yaitu, segala praktek kekerasan atau ancaman dengan tujuan politis untuk mempengaruhi prestise negara atau untuk menguasai keamanan dengan obsesi menggoyang kepemimpinan nasional, yang bisa dilakukan dengan pelbagai cara, seperti menghancurkan perekonomian agar tercipta keresahan yang berujung kerusuhan. Juga, sebuah obsesi untuk merubah perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh negara dan telah diterima oleh masyarakat.
Jika berangkat dari pengertian terorisme secara leksikal seperti di atas, maka mafhum sederhana dapat disimpulkan bahwa terorisme itu selalu ada dalam realitas sejarah kehidupan manusia. Bahkan, ada semenjak manusia itu membentuk komunitas sosial seperti tragedi pada bani Adam, Habil dan Qabil. Namun pengertian terorisme dalam pemikiran modern mengkristal semenjak revolusi Prancis pada tanggal 10 Agustus 1792, ketika pihak oposisi revolusi melakukan pelbagai tindakan kekerasan dalam menantang revolusi tersebut.
Dalam perkembangannya, gerakan terorisme memang sangat sering dilatarbelakangi oleh kepentingan politik. Hal ini terlihat dari beberapa klasifikasi yang dirangkumkan oleh para ilmuwan. Setidaknya ada tiga. Pertama, terorisme kriminal seperti gerakan perompakan dan penodongan. Kedua, terorisme hegemonik seperti yang banyak dilakukan oleh banyak penguasa terhadap lawan politiknya dalam melanggengkan kekuasaan. Ketiga, terorisme pemikiran seperti pemaksaan opini dan pemahaman terhadap kelompok lain.
Dari ketiga rangkuman tentang pemaknaan terorisme di atas, jika dikontekstualisasikan di negara Mesir sekarang ini, maka sangat jelas, bahwa kudeta yang bersimbah darah dari tangan-tangan sadis militer Mesir itu, merupakan terorisme hegemonik, dimana pihak Militer yang merampas kekuasaan dari pihak sipil kemudian melakukan pembantaian kepada lawan politik mereka. Kelompok gerakan Ikhwan Muslimin di Mesir dengan sayap politik Partai Kebebasan dan Keadilan yang telah ditakdirkan menjadi pemenang Pemilu hanya menjadi target dari alibi penumpasan terorisme global. Jamaah Ikhwan yang selama ini selalu mengedepankan intlektualitas politik dan moderasi Islam harus distigmakan dengan label teorisme, sebab hanya dengan alibi ini, kelakuan pembantaian yang dikomandoi Adb Fattah al-Sisi bisa “terima” oleh pro status quo, liberal dan Islamphobia.
Di sini letak rancunya. Demonstrasi damai (al-i”tishom)tanpa senjata, yang meruapakan ciri khas demokrasi, justru dibantai dan dianggap sebagai gerakan terorisme. Tapi, kudeta militer, pembantaian manusia dengan sangat keji oleh apatur negara dianggap sebagai kewajaran dan menjadi ikon perjuangan dalam menegakkan kedaulatan demokrasi dalam sebuah Negara. Beginikah tafsir terorisme yang kemudian menjadi rujukan pro kudeta? Ini yang mungkin dimaksudkan oleh Fahmi Huwaidi sebagai ajras al-”audah ila al-wara” (lonceng pertanda mundur ke belakang)? Tentu, yang berakal waras dapat menilai dengan objektif dan yang sebenarnya. Wallahu”alam
*Kepala Pusat Penelitian (Puslit) IAIN STS Jambi & Dosen Fak Syariah Jurusan Ilmu Pemerintahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: