Pilkada, Bandar Politik dan Korupsi

Pilkada, Bandar Politik dan Korupsi

Oleh : Suwardi., SE. Sy

Desentralisasi atau otonomi daerah merupakan perubahan paling mencolok Setelah reformasi digulirkan. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia menjadi kasus menarik bagi studi tentang ekonomi, hukum dan pembangunan oleh pengamat politik, hukum dan ekonomi. Kompleksitas permasalahan muncul ke permukaan, yang paling mencolok adalah mencuatnya sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat daerah dan anggota legislative daerah. Hal ini merupakan fakta bahwa praktek korupsi telah mengakar dalam kehidupan social politik ekonomi di Indonesia, Pasca reformasi.

Fenomena maraknya korupsi para kepala daerah di era otonomi ini seakan membenarkan tesis bahwa era reformasi korupsi di kalangan pemerintah sudah tumbuh ke atas dalam hierarki dan ke bawah menjalar ke daerah-daerah. Wabah korupsi benar-benar telah sistemis.

Betapa tidak, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat dari 524 kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota), 173 di antaranya terlibat kasus korupsi pada 2004-2012. Dari jumlah tersebut, 70 persen telah diputus bersalah dan diberhentikan, sebuah jumlah yang sungguh mencengangkan.

Era reformasi saat ini aktor-aktor korupsi telah meluas ke level seantero wilayah Nusantara yang melibatkan pejabat daerah dengan demikian pesat. Perubahan institusional di era reformasi tampaknya memang berkontribusi pada pelebaran korupsi. Seperti dikatakan kalangan neoinstitusionalisme, sebuah perubahan struktur pemerintahan dan politik akan memengaruhi tingkah laku aktor politik dan mekanisme kebijakan beserta efek politik yang ditimbulkan.

Korupsi yang merajalela dan tidak lagi mampu dibendung dengan besarnya ancaman kurungan penjara dan denda bagi pelaku. Merupakan ironi dari sebuah sistem negara demokrasi yang menjalankan sistem politik dan pemerintahan pascareformasi di Indonesia. Ada beberapa indikator maraknya Kepala Daerah yang melakukan tindak pidana korupsi, dan menyalah gunakan kekuasaan dan wewenangnya guna memperkaya diri sendiri, keluarga, dan atau kelompok tertentu. Yakni dimulai dari sistem pemilihan kepala daerah itu sendiri.

 

Pilkada: Politik Biaya Tinggi

Biaya dibutuhkan untuk pemilihan kepala daerah sesungguhnya bervariasi. Namun umumnya lebih dari Rp. 5 M untuk kabupaten/kota dan Rp. 20 M lebih untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur.

Bahkan hasil studi di salah satu Kabupaten di Indonesia menunjukkan jika seorang calon kepala daerah membutuhkan dana segar minimal sampai dengan Rp. 50 M. Hasil studi tersebut tidaklah mengejutkan bagi penulis sendiri. Sebab, merupakan hal yang wajar dan lumrah dengan sistem politik saat ini. Bahkan, menurut pengakuan dari teman penulis yang orang tuanya pernah turut serta mengikuti pemilihan Kepala Daerah juga mengutarakan hal yang sama jika kandidat dari lawan politik orang tuanya merogoh kocek sampai dengan Rp. 45 M untuk bisa menduduki kursi Panas Gubernur di salah satu daerah di Indonesia.  

Bagaimana dengan Jambi ? sama saja kondisinya. Pilkada memerlukan modal yang besar untuk bisa bertarung dan bahkan memenangkan pertarungan. Biaya yang besar tersebut digunakan untuk aktivitas penguatan basis masa pendukung, pembuatan alat peraga, iklan media cetak dan elektronik, sosialisasi lainnya hingga dana untuk kampanye akbar yang biasayanya mengahdirkan Juru Kampanye Nasional dan artis penghibur Ibu Kota untuk menarik masa. Yang tidak kalah besarnya biaya yang dikeluarkan oleh kandidat Kepala Daerah adalah ketika dirinya harus membeli Partai pendukung sebagai kendaraan atau perahu politiknya.

Bahkan dalam perhitungannya ada yang menyebutkan disesuaikan dengan jumlah kursi legislatif tersebut dengan anggaran minimal Rp. 200 Juta s/d Rp. 300 Juta per kursi. Artinya jika partai yang dibeli untuk mendukung tersebut menempatkan wakilnya di legislatif sebanyak 10 orang berarti calon tersebut harus merogoh koceknya sebanyak Rp. 2 M s/d Rp. 3 M untuk satu Partai. Jika didukung oleh 3 Partai ? silahkan pembaca dan masyarakat menghitungnya sendiri.

Hitung-hitungan yang demikian bukan rahasia umum lagi bahkan semua partai  menerapkan mekanisme yang sama. Penulis berkesempatan diskusi dengan salah satu kandidat Calon Wakil Kepala Daerah yang mengatakan dilamar oleh salah satu partai untuk bisa didukung dengan syarat memberikan mahar minimal Rp. 1,5 M. Namun, beruntung idealismenya belum tergadai sehingga permintaan partai tersebut ditolak, dan konsekuensinya adalah kandidat tersebut tidak disokong oleh partai yang meminta mahar. Bahkan ada juga salah satu calon Bupati yang akhirnya tidak jadi ikut serta Pilbup lantaran didesak untuk memberikan mahar Rp. 4 M.

Akhir dari itu semua mayoritas kepala daerah (Bupati/Walikota dan Gubernur) menggandeng sponsor alias penyandang dana sebagai pemodal dalam mendukung keikutsertaannya dalam Pilkada. Sebab, dengan sistem pemilihan langsung seperti sekarang ini, untuk memenangkan pertarungan di kancah perebutan kekuasaan kepala daerah dibutuhkan modal yang tidak sedikit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: