Per TPS Dijatah Rp 750 Ribu
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengajukan tambahan anggaran Rp 1,7 triliun untuk tahap penyelenggaraan pemilihan umum. Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) mengingatkan, penambahan anggaran itu dinilai wajar jika KPU memenuhi beberapa prinsip dalam penggunaannya.
\"Pemilu kita memang tidak murah, tetapi juga tidak boleh dimahal-mahalkan. Berapa pun anggaran yang diperlukan ya harus dipersiapkan,\" kata Direktur Sigma Said Salahuddin di Jakarta kemarin (20/10).
Saat rapat dengan Komisi II DPR pekan lalu (17/10), KPU mengajukan tambahan anggaran Rp 1,7 triliun. Berdasar informasi yang diperoleh, salah satu penggunaannya adalah untuk biaya TPS (tempat pemungutan suara) yang semula Rp 250 ribu ditambah Rp 500 ribu. Dengan begitu, biaya yang dibutuhkan adalah Rp 750 ribu. Sementara TPS diperkirakan 560.207 unit.
Selain untuk anggaran TPS, alokasi tambahan anggaran itu, antara lain, diperuntukkan perwakilan di luar negeri dan uang kehormatan untuk KPU daerah.
Menurut dia, KPU harus mengedepankan sejumlah prinsip. Misalnya, pengadaannya hanya untuk perlengkapan pemungutan suara yang benar-benar diperlukan. \"Lalu dipilih barang yang paling murah sepanjang asas pemilu luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan jurdil (jujur dan Adil) bisa dijamin. Lebih dari itu juga harus transparan dan akuntabel,\" urainya.
Said mengatakan, aspek-aspek semacam itu juga diperhatikan pada pemilu-pemilu sebelumnya. Karena itu, menurut dia, harus jelas dulu apakah anggaran yang berubah untuk TPS tersebut hanya untuk pengadaan bilik atau berkaitan dengan sarana yang lain. Misalnya, sewa tenda, pengeras suara, dan meja kursi. \"Kalau meliputi semua komponen itu, menurut saya, pengajuan tambahan anggaran oleh KPU tersebut masih masuk akal,\" katanya.
Hingga tadi malam, koran ini belum bisa mendapat keterangan dari KPU terkait dengan perubahan anggaran TPS menjadi Rp 750 ribu. Namun, dalam kesempatan sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II Abdul Hakam Naja mengingatkan, pengajuan tambahan anggaran itu harus sesuai dengan data yang dibutuhkan.
Dia mencontohkan, penggunaan daftar pemilih sementara hasil perubahan (DPSHP) sebagai acuan dalam proses lelang. Padahal seharusnya menggunakan daftar pemilih tetap (DPT). Nah, hal yang sama juga terjadi pada TPS yang seharusnya berdasar DPT. \"Ini harus klir dulu sehingga nanti tidak dipertanyakan Kementerian Keuangan,\" kata Hakam.
(fal/c4/fat)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: