Amerika Menyadap, Indonesia Tiarap
Purnawirawan jenderal bintang dua ini menjelaskan, dalam aturan internasional, tidak diperkenankan melakukan penyadapan antar-negara. Negara yang menjadi korban penyadapan, kata dia, berhak melakukan protes kepada negara yaang melakukan pelanggaran tersebut. \"Dalam konvensi internasional memang antar-negara dilarang melakukan intervensi seperti itu, termasuk penyadapan. Itu bisa dibawa ke Mahkamah Internasional. Jadi tidak boleh ada pengintaian, penyelidikan, spionase. Tapi sebelum dibawa boleh negara yang bersangkutan melakukan tindakan diplomatik. Mulai dari pemanggilan, teguran ringan, teguran keras, sampai mengusir perwakilan atau duta besar, bisa diusir,\" tegas dia.
Politikus PDIP ini menantang keberanian pemerintah untuk bersikap. Dia memberi contoh, saat Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno yang berani keluar dari Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) karena merasa dirugikan.
\"Zaman Bung Karno pernah keluar dari PBB, dengan Malaysia memutuskan hubungan diplomatik pernah, dengan Amerika pernah juga kan, sekarang tinggal ada enggak keberanian, zaman Pak SBY seperti sekarang ini yang menganggap Amerika sebagai tanah leluhur kedua. Saya enggak tahu turunan dari mana itu,\" ujar dia.
Menurut dia, kasus penyadapan sudah menyangkut marwah bangsa. Dia juga menyindir sikap SBY yang justru lebih marah ketika merasa dirugikan kepentingan pribadinya dari pada bangsa yang dirugikan dengan kasus penyadapan ini. \"Ini marwah bangsa, Kalau urusan pribadi marah, tapi kalau urusan negara didiamkan,\" sindirnya.
Seperti diketahui, SBY sempat berapi-api karena merasa partainya selalu disudutkan oleh media massa. SBY bahkan memerintahkan para kadernya untuk melawan ketika partai Demokrat terus disudutkan dan difitnah.
Pengamat Hubungan Internasional, Budi Mulya, saat diwawancarai Media Umat (4/11) soal tindakan penyadapan ini menyatakan, bahwa berdasarkan kajian historis diplomasi, menurut Holsti, telah didokumentasikan ada sekitar 14 ragam tindakan (action) yang dilakukan suatu negara vis a vis negara lain jika suatu konflik atau krisis yang terjadi termasuk soal penyadapan.
Diantaranya adalah surat protes, denials/accusation, pemanggilan dubes untuk ‘konsultasi’, penarikan dubes, ancaman boikot atau embargo ekonomi (parsial atau total), propaganda anti negara tersebut di dalam negeri, pemutusan hubungan diplomatik secara resmi, mobilisasi pasukan militer (parsial atau penuh) walaupun sebatas tindakan nonviolent, peniadaan kontak antarwarga negara (termasuk komunikasi), blokade formal, penggunaan kekuatan militer terbatas(limited use of forse) dan pencetusan perang.
Namun tindakan-tindakan tersebut tidak mesti berurutan, karena dapat saja melompat dari yang satu ke yang lain. “Dalam kasus penyadapan ini, maka langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia masih langkah yang ringan”, katanya kepada mediaumat.
Punya nyalikah Indonesia dalam merespon penyadapan ini ? Jawabannya, tentu sangat tergantung pada Presiden SBY dan para pejabat negeri ini.
(Penulis adalah Pemerhati Sosial Keagamaan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: