Mana Suara Para Nasionalis ?

Mana Suara Para Nasionalis ?

      Dan sistem legislasi ini berlangsung dalam kendali lembaga internasional yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik atas negeri ini. Lembaga inilah sebenarnya kepanjangan tangan penjajah. Maka, produk-produk legislasi pasti pro kepada pasar, sebagai hal prinsip yang diinginkan Barat.

      Maka bisa ditelusur lagi, ternyata sejak Indonesia merdeka hingga kini, arah perubahan Indonesia makin mendekati kepada liberalisasi secara sempurna. Semuanya berlangsung secara sistematis dan terencana. Sampai-sampai, bangsa Indonesia pun tak merasa bahwa mereka telah dikadali oleh rezim penguasa mereka sendiri. Mereka tak tahu kekayaan alam mereka digondol kabur oleh asing. Tiba-tiba mereka kaget begitu bumi telah tinggal tanahnya.

Mana Suara Para Nasionalis ?

      Hilangnya harta rakyat bukannya tiba-tiba.Semua berlangsung terbuka dan berproses. Anehnya, para nasionalis yang sering berkoar soal nasionalisme seperti buta terhadap kejadian ini. Mereka tak bersuara. Ke mana mereka ?.

      Apakah mereka tak mengetahui bahwa telah terjadi penjajahan di bumi pertiwi ? Atau jangan-jangan mereka diam karena mereka adalah bagian dari penjarah itu ?.

      Partai-partai politik yang hadir sejak Orde Baru, bahkan ada yang lahir sejak Orde Lama pun menganggap biasa sumber pendapatan negara yang begitu besar. Seolah mereka secara koor mengiyakan seluruh kebijakan pemerintah menyerahkan aset negara kepada penjajah.

      Pertanyaannya, di mana fungsi partai politik untuk mengawasi pemerintah ? Kalau semua partai politik merapat ke penguasa demi kekuasaan dan uang, siapa yang akan pro kepada rakyat ? Banyak pertanyaan yang tak terjawab yang akhirnya menggiring pada kesimpulan bahwa telah terjadi kerusakan akut pada sistem yang berlaku di negeri ini.

      Tidak cukup masalah ini diobati dengan diagnosis perorangan. Soalnya yang terkena penyakit bukan satu dua orang. Yang rusak saat ini adalah sistemnya, karena menjadikan sistem sekuler sebagai pilar bernegara. Indonesia sebagai negara tak memiliki jatidiri.

      Walhasil, kondisi ini hanya bisa diatasi sekaligus yakni ganti sistem dan ganti rezim. Sistem yang baik, apalagi datang dari Yang Maha Baik, pasti akan mendatangkan kebaikan dan membuat orang di dalamanya terbawa baik. Sebaliknya orang baik di tengah sistem yang buruk, pasti dia akan terseret kepada keburukan.

      Sekarang pilihannya tinggal dua. Bertahan dengan sistem yang ada, berarti mengikuti alur asing di negeri ini atau memutus hubungan dengan Barat dan membangun sistem sendiri ? Orang yang cerdas dan punya kemuliaan akan memilih yang kedua.

(Penulis adalah Pemerhati Sosial Keagamaan. Berdomisili di Kuala Tungkal, Tanjabbar).

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: